Rabu, 07 Oktober 2009
Politik Kapling Cawawali Demokrat Surabaya
Oleh Syafrudin Budiman, SIP (Pemerhati Sosial Politik dan Media)
Partai Demokrat (PD) Surabaya adalah pemenang pemilu di Kota Surabaya dengan kekuatan 16 kursi di parlemen. Angka ini lebih dari cukup untuk maju mengusung sendiri pasangan Calon Walikota (cawali) dan Calon Wakil Walikota (cawawali) Surabaya, pada pilkada 2010.
Bursa cawali Surabaya dari PD sungguh sangat diminati banyak orang. Baik yang muncul dari kalangan internal maupun eksternal partai. Diantaranya yang tampak dipermukaan berniat menjadi cawali yakni, Fandi Utomo, Arif Afandi, Wisnu Wardhana dan Ali Syahbana. Bahkan mungkin nantinya ada calon lain yang kuat akan tampil sebagai cawali PD Surabaya.
Terlihat situasi dan kondisi di lapangan penuh pertarungan klaim-klaim politik antar kandidat cawali PD. Perang spanduk dan opini di media terus dilakukan, untuk menarik dukungan simpati masyarakat. Tidak ketinggalan tentunya mencari simpati dukungan dari pemilih PD yang memperoleh 311.792 suara atau 31,29 persen.
Namun sayangnya, untuk kursi cawawali PD Surabaya kurang begitu diminati. Pertanyaan besar muncul untuk partai elang rajawali ini. Kenapa cawawali PD Surabaya minim yang mendaftar dan mengajukan diri? Bisa saja ini disebabkan beberapa faktor yang sangat politis dan rasionalitas di lapangan.
Kondisi ini diakui Wakil Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi DPC Partai Demokrat Mochammad Machmud. “Kami belum mengetahui secara pasti mengapa kok masih sepi posisi dari cawawali itu. Padahal dengan cepatnya diketahui cawawali, akan meningkatkan elektabilitasnya dalam pilwali kota Surabaya 2010 mendatang,” kata Machmud, Minggu (4/10).
Partai Demokrat hingga sekarang belum membuka pendaftaran untuk posisi cawawali. Namun seharusnya peminat posisi cawawali sudah memproklamirkan diri sejak sekarang seperti apa yang dilakukan oleh para kandidat cawali. Ini karena pilwali yang dilakukan secara langsung sangat membutuhkan figur yang dikenal masyarakat Surabaya.
Dengan demikian, jika cawawalinya dikenal luas oleh masyarakat tentunya akan ikut mendongkrak perolehan suara dari cawali. “Makanya kami sendiri juga heran dengan posisi cawawali Partai Demokrat yang peminatnya baru seorang saja yakni Pak Afgani,” tukas Machmud. (Surya, 5 Oktober 2009).
Partai sekelas PD dengan label pemenang pemilu legeslatif 2009 lalu. Tentunya PD sangat tidak pantas menerima catatan kekurangan stok cawawali Surabaya. Pertama mungkin karena pendaftaran penjaringan cawali dan cawawali belum dibuka. Selanjutnya faktor kedua beredar kabar kalau, M. Afghani Wardhana S., SE (Kepala Bapemas dan KB Kota Surabaya) akan maju sebagai cawawali.Ia adalah sepupu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Pembina DPP Partai Demokrat.
Posisi M. Afghani Wardhana ini menyebabkan kandidat lainnya, yang akan maju sebagai cawawali dari PD sangat minim. Peran ini menyebabkan terjadinya politik kapling cawawali PD Surabaya. Sehingga cawawali yang lain lebih senang melamar secara pribadi kepada cawali daripada melamar lewat partai.
Kesan nepotisme melekat pada M. Afghani Wardhana, karena dirinya adalah kerabat dekat SBY. Walaupun belum tentu DPP PD memberikan rekom atau tiket kepada dirinya. Ini menjadi delematis karena terjadi ewuh pakewuh dalam tubuh PD Surabaya. Apalagi kepada kandidat cawawali lainnya yang ingin maju.
Hal ini diperkuat oleh statemen M. Afghani Wardhana sendiri yang menyatakan, sudah memproklamirkan diri maju menjadi cawawali Surabaya. Ia berharap dilamar PD Surabaya dan dirinya tak peduli siapa cawalinya, yang penting dia cawawalinya.
“Saya kan harus tahu diri, siapa saya. Jadi saya hanya mengincar cawawali, bukan cawali. Soal siapa gandengan saya nanti, tidak saya pedulikan, yang penting saya bisa maju lewat PD dulu,” ujarnya. (Surabaya Post, 18 September 2009).
Pernyataan di atas sangat jelas, bahwa dirinya berharap menjadi cawawali PD Surabaya. Ini mendakan dirinya sangat memanfaatkan kekuatannya, sebagai salah satu keluarga biologis SBY. Selama dimanfaatkan secara positif dan tetap mengikuti mekanisme partai, tentunya tidak ada masalah. Namun yang berbahaya jika terjadi Politik kapling cawawali dan apabila mekanisme partai tidak ditegakkan.
Secara normatif menurut aturan partai, siapapun boleh berkeinginan menjadi cawali dan cawawali. Baik yang berpengalaman di birokrasi, kalangan akademisi maupun pengusaha. Namun, kepada siapakah pinangan PD itu jatuh, belum ada yang tahu. Menurut aturan Tim 9 akan dibentuk PD Surabaya. Tim inilah yang akan menggodok dan menseleksi setiap calon yang melamar. Baik sebagai cawali maupun cawawali Surabaya 2010-2015.
Apabila kapling politik ini tidak terlihat dan partai segera melakukan pendaftaran penjaringan. Maka akan banyak kandidat yang akan maju sebagai cawawali lewat PD Surabaya. Bisa saja PD berkoalisi dengan partai-partai papan tengah dalam mengusung cawali dan cawawali. Walaupun sebenarnya PD tetap bisa mengusung cawali dan cawawali sendiri.
Idealnya adalah membangun koalisi besar dan merangkul partai-partai papan tengah. Sangat mungkin cawawalinya bukan dari kader partai maupun kader biologis SBY. Koalisi ini untuk meningkatkan elektabilitas yang mempengaruhi kemenangan kandidat nantinya.
Siapapun cawalinya, baik Fandi Utomo, Arif Afandi, Wisnu Wardhana dan Ali Syahbana. Atau mungkin ada calon lain yang akan tampil sebagai cawali PD Surabaya. Bisa jadi cawawalinya tampil dari partai-partai papan tengah dan bukan dari internal PD saja.
Sementara ada beberapa nama cawali dan cawawali yang lahir dari partai-partai papan tengah. Diantaranya Yulyani (PKS Surabaya), Adies Kadir, SH (Anggota DPRD Surabaya/Ketua AMPG Partai Golkar), Musofak Rouf (Anggota DPRD/Ketua DPC PKB Surabaya) dan Simon Lakatompessy (Anggota DPRD Surabaya/Ketua DPC PDS Surabaya).
Selain itu Rindoko W (Ketua DPW Gerindra Jatim), Masfuk (Bupati Lamongan/Dewan Penasehat DPW PAN Jatim) Muhtadi (Ketua PKNU Surabaya) dan Mujahid Ansori (Mantan Anggota DPRD Jatim/Fungsionaris PPP).
Nama-nama tersebut bisa dirangkul menjadi cawawali koalisi dengan PD Surabaya. Bahkan yang menarik berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Terutama merangkul kader PDIP, Saleh Ismail Mukadar Ketua DPD PDIP Surabaya atau Dyah Katarina (Istri Bambang DH Wali Kota Surabaya). Hal ini bisa saja terjadi mengingat Bambang DH sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri, karena sudah menjabat dua periode.
Selain itu ada sejumlah nama pejabat pemkot bisa juga dibidik, yakni Asisten I Sekkota BF Sutadi dan Ketua Bappeko Tri Rismaharini. Sementara dari pengusaha dan independen diantaranya, Syaiful Chalim (Ketua PCNU Surabaya), La Nyala Mata Liti (Ketua Kadin Jatim), Poerwanto (Pengusaha/sahabat Sukarwo Gubenur Jatim), Dhimam Abror (Ketua PWI Jatim/Pimred Surabaya Post) dan Mohammad Sholeh (Pengacara/calon independen).
Nama-nama tersebut bisa dimasukkan sebagai cawawali dari PD Surabaya. Asalkan ruang publik dan komunikasi politik partai dalam penjaringan dibuka untuk umum. Keterbukaan inilah yang akan di tunggu masyarakat Surabaya yang memiliki kecendrungan rasional dalam memilih.
Secara pemetaan kursi DPRD Surabaya, untuk PD mengalami kenaikan signifikan. Dari memperoleh 5 kursi pada pemilu legeslatif 2004, menjadi 16 kursi pada pemilu legeslatif 2009. Sementara lengkapnya, perolehan kursi parpol pada pemilu legeslatif 2004 dari 45 jatah kursi DPRD Kota Surabaya, PDIP memperoleh (13) kursi, disusul PKB dengan (11) kursi, PD memperoleh (5) kursi, PAN (5) kursi, Golkar (4) kursi, PDS (4) kursi dan PKS (3) kursi.
Sedangkan untuk pemilu legeslatif 2009 dari 50 jatah kursi DPRD Surabaya. PD unggul dan naik 3 kali lipat lebih menjadi (16) kursi, disusul PDIP dengan (8) kursi. Lalu, partai Golkar (5), PKB (5), PDS (4) dan PKS (5) kursi. Selanjutnya, PAN mendapat (2) kursi, Gerindera (3) kursi, terakhir PPP dan PKNU masing-masing mendapat (1) kursi.
Perlu diketahui untuk perolehan hasil perhitungan suara parpol dari hasil rekapitulasi suara di KPU Surabaya, PD memperoleh 311.792 suara atau 31,29 persen. Sementara PDIP dengan 189.010 suara atau 18,97 persen. Peringkat ketiga PKS dengan 65.358 suara atau 6,56 persen, disusul PKB dengan 64.242 suara atau 6,45 persen.
Selanjutnya peringkat kelima adalah PDS dengan 54.960 atau 5,52 persen. Yang mengherankan adalah suara untuk Partai Golkar yang merosot ke urutan nomor enam dengan 53.549 suara atau 5,37 persen.
Mungkinkah muncul kadidat-kandidat lain yang memberanikan diri maju menjadi cawawali PD Surabaya. Sehingga tidak mncul kandidat tunggal dan kapling poltik yang menyatakan, ini milik saya, ini milik kamu. Atau keluar statemen ini jatah saya, ini jatah kamu. Sungguh statemen dan pernyataan ini tidak baik untuk perkembangan demokrasi di Indonesia.
Lebih-lebih ini tidak baik bagi Partai Demokrat yang lagi mengalami euforia politik. Sebagai partai yang lagi mencari bentuk di tengah kemenangan dan melakukan konsilidasi. Tentunya memerlukan struktur yang kuat dan mekanisme partai yang kokoh. Agar demokratisasi partai seiring sejalan dengan pertumbuhan transisi demokrasi Indonesia. Semoga lebih baik. (rud)
Minggu, 04 Oktober 2009
Songsong Pilkada Jatim 2010 Dilema Calon Kepala Dearah Independen
Oleh : Syafrudin Budiman, SIP
Pemerhati Sosial Politik & Media
Memasuki pertengahan tahun 2010 masyarakat Jawa Timur akan menggelar Pemilihan Kepala Dearah (Pilkada) di 18 Kabupaten dan Kota. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat sebagai arena demokrasi untuk melakukan perubahan. Bagi daerah yang sudah baik akan di tingkatkan menjadi lebih baik. Sedangkan bagi daerah yang masih kurang baik berharap ada perubahan yang lebih baik.
Pilkada 2010 kali ini berbeda dengan pilkada 2005. Dimana kalau dulu tidak ada calon independen atau calon perseorangan. Pilkada kali ini sangat membuka ruang kepada calon independen. Kandidat calon independen bisa menunjukkan lebih baik dari pada calon partai politik. Hal ini bagian dari perubahan politik di era transisi demokrasi pasca 11 tahun reformasi.
Delapan belas daerah yang akan menggelar pilkada diantaranya; Kota Surabaya (27-Juni-10), Ponorogo (20-Juni-10), Sumenep (20-Juni 10), Gresik (27-Juni-10), Lamongan (30-Juni-10) dan Ngawi (20-Jun-10). Selanjutnya Situbondo (20-Juni-10), Banyuwangi (20-Juni-10), Jember (22-Juni-10), Sidoarjo (25-Sep-10), Kota Pasuruan (7-Agst-10), Malang (05-Sep-10), Kediri (01-Agst-10), Trenggalek (06-Agst-10) dan Mojokerto (24-Agst-10). Selain itu Blitar (27-Nov-10), Pacitan (21-Dec-10), dan Tuban (27-Apr-10). (cetro.or.id).
Ruang independen merupakan merupakan ruang politik hukum jalur judicial review lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan lahir dari UU yang dilahirkan parlemen, melainkan melalui perjuangan yang panjang. Nasibnya hampir sama dengan gugatan suara terbanyak pada pemilu legeslatif 2009 lalu. Gugatan ke MK tentang calon independen atau perseorangan tidak lepas dengan nama Lalu Ranggalawe, mantan anggota DPRD di Kabupaten Lombok Tengah.
Pro kontra dan kontraversi wacana tentang Calon Independen tentunya tidak akan pernah ada tanpa perannya. Lulu Ranggalawe mengajukan permohonan dan berpendapat bahwa UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dianggapnya menghilangkan makna demokrasi sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Ia menganggap Pasal-pasal tersebut hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun di sisi lain tidak memberi peluang bagi pasangan calon independen. Hal ini diperbandingkan dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam [Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh).
Atas dasar gugatan tersebut, pihak MK dalam pertimbangan hukumnya, menjelaskan bahwa ketentuan yang termaktub pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh memang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Berdasar kajian tersebut MK menetapkan bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah diperkenankan/dibuka agar tidak terdapat dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 karena dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu MK menyatakan adanya beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Akhirnya MK menetapkan dan memustuskan Pasal 56 ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;
Sedangkan Pasal 59 ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 ayat (1) akan berbunyi, ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
Selanjutnya Pasal 59 ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 ayat (1), sehingga Pasal 59 ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Pasal 59 ayat (2) ini kewenangan parpol atau gabungan parpol. Sekaligus syarat untuk mengajukan calon pada pilkada nantinya.
Sementara Pasal 59 ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Hal ini memberi kesempatan bagi calon perseorangan, parpol dan gabungan parpol. (forumpolitisi.org, 2007).
Berdasar keputusan MK akhirnya DPR RI membuat UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini merupakan perubahan terhadap aturan sebelumnya untuk menyesuaikan hasil keputusan MK. Untuk calon independen payung hukumnya adalah Pasal 59 ayat (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Selanjutnya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi calon independen. Dimana tercantum pada ayat, (2a) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); Diteruskan c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Sedangkan pada ayat (2b) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
Diteruskan huruf, c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Sementara pada ayat (2c) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2a) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. (2d) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Dan yang terakhir ayat (2e) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila kita melihat persyaratan calon independen terlihat sangat berat. Mengingat ada beberapa daerah yang jumlah penduduknya di atas satu juta. Dari 18 daerah yang menyelenggarakan pilkada tercatat 10 daerah jumlah penduduknya melebihi 1 juta. Bahkan Kota Surabaya jumlah penduduknya mencapai 3 juta lebih. Tentunya ini sangat memberatkan, karena harus mengumpulkan 90 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat.
Hal ini menjadi dilema bagi calon independen atau calon perseorangan, jika siap maju sebagai calon Kepala Daerah. Baik yang mau maju menjadi pasangan calon walikota dan wakil walikota maupun calon bupati dan wakil bupati. Sangat wajib bagi calon independen yang maju lewat jalur independen agar memenuhi syarat tersebut.
Jika dibandingkan dengan persyaratan calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ini sangat lebih berat. Mengingat aturan DPD menyebutkan apabila jumlah penduduk diatas 15 juta, maka wajib mengumpulkan 5 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat. Hal ini sangat tidak adil dan sangat meberatkan calon independen. Terutama Kota Surabaya yang memiliki jumlah penduduk di atas 3 juta dan tersebar di 31 Kecamatan.
Nampaknya anggota DPR sang pembuat UU tidak legowo menerima hasil keputusan MK tentang calon independent. Mengingat anggota DPR adalah kepanjangan parpol. Tentunya mereka menginginkan pintu masuk menjadi kepala daerah cukup lewat parpol dan tidak perlu repot-repot lewat jalur independen. Sehingga syarat-syarat calon independen dipersulit dan over protektif.
Sebenarnya ada celah agar syarat-syarat tersebut dapat berubah. Dimana para calon kandidat mengajukan gugatan judicial review lewat MK. Ini menjadi peluang satu-satunya merubah syarat-syarat agar diringankan. Diharapkan sesegera mungkin pendaftaran gugatan dilakukan. Mengingat waktu yang tinggal 9 bulan lagi.
Belajar dari pengalaman sebenarnya putusan MK tentang calon independen telah lama dikeluarkan. Namun molor satu tahun pelaksanaanya, karena parpol di DPR tidak segera melakukan revisi UU Pemerintahan Daerah. Hal ini menjadi pelajaran penting, jika para calon independen ingin mendaftarkan gugatannya. Jangan sampai ruang waktu yang tersisa menyebabkan syarat dilematis disia-siakan.
Bisa dibayangkan apabila syarat 90 KTP dan surat pernyataan masyarakat dilakukan. Maka asumsinya akan ada dua kali 90 ribu fotocopi, itupun dikalikan dua berkas. Mengingat fotocopi yang harus diberikan kepada KPUD satu berkas dan menjadi arsip internal satu berkas. Jika dikalikan 100 rupiah saja, maka akan ketemu harga 36 juta dengan jumlah 360 ribu lembar fotocopi. Belum lagi pengeluaran biaya operasional yang harus dikeluarkan. Terutama dalam menggalang dukungan mengumpulkan KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat.
Sungguh besar biaya yang harus dikeluarkan dalam memenuhi persyaratan adminitrasi. Padahal ini belum tentu lolos dan memenuhi syarat verifikasi faktual. Apabila lolospun, calon independen masih harus sibuk menggalang dukungan dan mengeluarkan biaya kampanye. Selain itu juga harus menanggung beban jeratan hukum, jika persyaratan adminitrasi terbukti ada data yang palsu. Ancaman denda dan pidana berat menanti bagi sang calon independen.
Mohammad Sholeh Pelopor Calon Independen
Mohammad Sholeh, pengurus PDI Pejuangan (PDIP) yang pernah gagal dalam pencalegan 2009 lalu, kali ini mencoba tampil dalam bursa calon walikota Surabaya 2010. Meski masih berstatus pengurus PDIP, Sholeh tetap memilih jalur independen untuk bertarung dalam pilwali 2010. Menurutnya sudah saatnya kaum muda berani tampil dalam kancah kepala daerah. Ia mendatangi KPU Kota Surabaya, Rabu (05/08/09) untuk menanyakan persyaratan menjadi calon independen.
Mohammad Sholeh lebih memilih jalur independen daripada memilih jalur dari PDIP. Hingga saat ini dirinya tidak memiliki akses ke DPP PDIP sebagai jalur pencalonan. Meski menjadi pengurus dirinya tidak punya modal politik ke DPP. Mohammad Sholeh mengaku sangat siap dalam pencalonan ini, meski harus bertarung dengan calon dari PDIP sekalipun.
Ia mengklaim memiliki modal politik untuk wilayah Surabaya,. Bahkan Mantan Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW PRD) Jawa Timur ini menyatakan siap bertarung dengan Arif Afandi, La Nyala, dan Saleh Mukadar jika mereka maju. (beritajatim.com, 05/08/09).
Keseriusan Mohammad Sholeh dalam pencalonannya terlihat ketika menggelar Halal Bihalal dan Dialog Publik, pada 2 Okt 09. Acara ini bertemakan Peluang dan Tantangan Cawali Independen Menuju Pilwali Surabaya 2010. Bertempat di Restoran Ria Galeria Jl. Bangka Surabaya, terlihat spanduk dan banner berslogan Rumah Independen-Rumah Kita. Materi acara ini dipandu oleh Suko Widodo Dosen FISIP Universitas Airlangga. Kebetulan penulis hadir dan diundang pada acara tersebut.
Tampak hadir beberapa kolega Mohammad Sholeh dari berbagai kalangan. Baik dari aktivis mahasiswa, wartawan, pengacara dan LSM. Tampak hadir juga beberapa pengurus parpol, ormas, aktivis tionghoa dan lintas agama meramaikan acara. Acara dikemas menarik mengingat setiap peserta yang hadir memakai pakaian batik. Kebetulan hari yang bersamaan itu ditetapkannya batik oleh Unesco sebagai salah satu cagar budaya.
Mohammad Sholeh sang pelopor calon independen di Jawa Timur ini menyatakan akan melakukan Gugatan Ke MK. Ia akan melakukan judicial review perihal syarat independen 3 persen, menjadi 0,5 persen dari 3 juta penduduk Kota Surabaya. Menurutnya, persyaratan 3 persen sangat memberatkan siapapun yang akan maju sebagai calon independen. Walaupun sebenarnya dirinya mengaku tetap optimis bisa mendapatkan 90 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan.
Pemenang Gugatan MK suara terbanyak ini mengklaim elektabilitasnya tinggi dan masuk empat besar. Diantara yang masuk empat besar adalah Bambang DH, Arif Affandi, Fandi Utomo dan Mohammad Sholeh. Hal ini berdasar pada hasil survei independen, kata mantan aktivis yang pernah dipenjara di jaman orde baru ini. Sholeh juga mengaku tidak memiliki beban dengan PDIP, karena dirinya tidak merasa dibesarkan PDIP, tetapi PRD lah yang lebih mebesarkan dirinya.
Tampak hadir salah satu kolega pengacaranya mengatakan, perlu adanya posko-posko sukarelawan untuk mengumpulkan KTP dan bukan hanya dor to dor. Kampanye calon independen perlu tekat yang kuat dan harus menjadi panutan. Semoga harapan dan tantangan Mohammad Sholeh maju dalam pilkada bisa terwujud. Apalagi jika MK mau merubah syarat-syarat calon independen dari 3 persen menjadi 0,5 persen. Amin.(rud)
Langganan:
Postingan (Atom)