Minggu, 04 Oktober 2009

Songsong Pilkada Jatim 2010 Dilema Calon Kepala Dearah Independen


Oleh : Syafrudin Budiman, SIP
Pemerhati Sosial Politik & Media

Memasuki pertengahan tahun 2010 masyarakat Jawa Timur akan menggelar Pemilihan Kepala Dearah (Pilkada) di 18 Kabupaten dan Kota. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat sebagai arena demokrasi untuk melakukan perubahan. Bagi daerah yang sudah baik akan di tingkatkan menjadi lebih baik. Sedangkan bagi daerah yang masih kurang baik berharap ada perubahan yang lebih baik.

Pilkada 2010 kali ini berbeda dengan pilkada 2005. Dimana kalau dulu tidak ada calon independen atau calon perseorangan. Pilkada kali ini sangat membuka ruang kepada calon independen. Kandidat calon independen bisa menunjukkan lebih baik dari pada calon partai politik. Hal ini bagian dari perubahan politik di era transisi demokrasi pasca 11 tahun reformasi.

Delapan belas daerah yang akan menggelar pilkada diantaranya; Kota Surabaya (27-Juni-10), Ponorogo (20-Juni-10), Sumenep (20-Juni 10), Gresik (27-Juni-10), Lamongan (30-Juni-10) dan Ngawi (20-Jun-10). Selanjutnya Situbondo (20-Juni-10), Banyuwangi (20-Juni-10), Jember (22-Juni-10), Sidoarjo (25-Sep-10), Kota Pasuruan (7-Agst-10), Malang (05-Sep-10), Kediri (01-Agst-10), Trenggalek (06-Agst-10) dan Mojokerto (24-Agst-10). Selain itu Blitar (27-Nov-10), Pacitan (21-Dec-10), dan Tuban (27-Apr-10). (cetro.or.id).

Ruang independen merupakan merupakan ruang politik hukum jalur judicial review lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan lahir dari UU yang dilahirkan parlemen, melainkan melalui perjuangan yang panjang. Nasibnya hampir sama dengan gugatan suara terbanyak pada pemilu legeslatif 2009 lalu. Gugatan ke MK tentang calon independen atau perseorangan tidak lepas dengan nama Lalu Ranggalawe, mantan anggota DPRD di Kabupaten Lombok Tengah.

Pro kontra dan kontraversi wacana tentang Calon Independen tentunya tidak akan pernah ada tanpa perannya. Lulu Ranggalawe mengajukan permohonan dan berpendapat bahwa UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dianggapnya menghilangkan makna demokrasi sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Ia menganggap Pasal-pasal tersebut hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun di sisi lain tidak memberi peluang bagi pasangan calon independen. Hal ini diperbandingkan dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam [Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh).

Atas dasar gugatan tersebut, pihak MK dalam pertimbangan hukumnya, menjelaskan bahwa ketentuan yang termaktub pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh memang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Berdasar kajian tersebut MK menetapkan bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah diperkenankan/dibuka agar tidak terdapat dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 karena dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu MK menyatakan adanya beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.

Akhirnya MK menetapkan dan memustuskan Pasal 56 ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;

Sedangkan Pasal 59 ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 ayat (1) akan berbunyi, ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;

Selanjutnya Pasal 59 ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 ayat (1), sehingga Pasal 59 ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Pasal 59 ayat (2) ini kewenangan parpol atau gabungan parpol. Sekaligus syarat untuk mengajukan calon pada pilkada nantinya.

Sementara Pasal 59 ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Hal ini memberi kesempatan bagi calon perseorangan, parpol dan gabungan parpol. (forumpolitisi.org, 2007).

Berdasar keputusan MK akhirnya DPR RI membuat UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini merupakan perubahan terhadap aturan sebelumnya untuk menyesuaikan hasil keputusan MK. Untuk calon independen payung hukumnya adalah Pasal 59 ayat (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Selanjutnya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi calon independen. Dimana tercantum pada ayat, (2a) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); Diteruskan c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

Sedangkan pada ayat (2b) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);

Diteruskan huruf, c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

Sementara pada ayat (2c) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2a) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. (2d) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Dan yang terakhir ayat (2e) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila kita melihat persyaratan calon independen terlihat sangat berat. Mengingat ada beberapa daerah yang jumlah penduduknya di atas satu juta. Dari 18 daerah yang menyelenggarakan pilkada tercatat 10 daerah jumlah penduduknya melebihi 1 juta. Bahkan Kota Surabaya jumlah penduduknya mencapai 3 juta lebih. Tentunya ini sangat memberatkan, karena harus mengumpulkan 90 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat.

Hal ini menjadi dilema bagi calon independen atau calon perseorangan, jika siap maju sebagai calon Kepala Daerah. Baik yang mau maju menjadi pasangan calon walikota dan wakil walikota maupun calon bupati dan wakil bupati. Sangat wajib bagi calon independen yang maju lewat jalur independen agar memenuhi syarat tersebut.

Jika dibandingkan dengan persyaratan calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ini sangat lebih berat. Mengingat aturan DPD menyebutkan apabila jumlah penduduk diatas 15 juta, maka wajib mengumpulkan 5 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat. Hal ini sangat tidak adil dan sangat meberatkan calon independen. Terutama Kota Surabaya yang memiliki jumlah penduduk di atas 3 juta dan tersebar di 31 Kecamatan.

Nampaknya anggota DPR sang pembuat UU tidak legowo menerima hasil keputusan MK tentang calon independent. Mengingat anggota DPR adalah kepanjangan parpol. Tentunya mereka menginginkan pintu masuk menjadi kepala daerah cukup lewat parpol dan tidak perlu repot-repot lewat jalur independen. Sehingga syarat-syarat calon independen dipersulit dan over protektif.

Sebenarnya ada celah agar syarat-syarat tersebut dapat berubah. Dimana para calon kandidat mengajukan gugatan judicial review lewat MK. Ini menjadi peluang satu-satunya merubah syarat-syarat agar diringankan. Diharapkan sesegera mungkin pendaftaran gugatan dilakukan. Mengingat waktu yang tinggal 9 bulan lagi.

Belajar dari pengalaman sebenarnya putusan MK tentang calon independen telah lama dikeluarkan. Namun molor satu tahun pelaksanaanya, karena parpol di DPR tidak segera melakukan revisi UU Pemerintahan Daerah. Hal ini menjadi pelajaran penting, jika para calon independen ingin mendaftarkan gugatannya. Jangan sampai ruang waktu yang tersisa menyebabkan syarat dilematis disia-siakan.

Bisa dibayangkan apabila syarat 90 KTP dan surat pernyataan masyarakat dilakukan. Maka asumsinya akan ada dua kali 90 ribu fotocopi, itupun dikalikan dua berkas. Mengingat fotocopi yang harus diberikan kepada KPUD satu berkas dan menjadi arsip internal satu berkas. Jika dikalikan 100 rupiah saja, maka akan ketemu harga 36 juta dengan jumlah 360 ribu lembar fotocopi. Belum lagi pengeluaran biaya operasional yang harus dikeluarkan. Terutama dalam menggalang dukungan mengumpulkan KTP dan surat pernyataan dukungan masyarakat.

Sungguh besar biaya yang harus dikeluarkan dalam memenuhi persyaratan adminitrasi. Padahal ini belum tentu lolos dan memenuhi syarat verifikasi faktual. Apabila lolospun, calon independen masih harus sibuk menggalang dukungan dan mengeluarkan biaya kampanye. Selain itu juga harus menanggung beban jeratan hukum, jika persyaratan adminitrasi terbukti ada data yang palsu. Ancaman denda dan pidana berat menanti bagi sang calon independen.


Mohammad Sholeh Pelopor Calon Independen

Mohammad Sholeh, pengurus PDI Pejuangan (PDIP) yang pernah gagal dalam pencalegan 2009 lalu, kali ini mencoba tampil dalam bursa calon walikota Surabaya 2010. Meski masih berstatus pengurus PDIP, Sholeh tetap memilih jalur independen untuk bertarung dalam pilwali 2010. Menurutnya sudah saatnya kaum muda berani tampil dalam kancah kepala daerah. Ia mendatangi KPU Kota Surabaya, Rabu (05/08/09) untuk menanyakan persyaratan menjadi calon independen.

Mohammad Sholeh lebih memilih jalur independen daripada memilih jalur dari PDIP. Hingga saat ini dirinya tidak memiliki akses ke DPP PDIP sebagai jalur pencalonan. Meski menjadi pengurus dirinya tidak punya modal politik ke DPP. Mohammad Sholeh mengaku sangat siap dalam pencalonan ini, meski harus bertarung dengan calon dari PDIP sekalipun.

Ia mengklaim memiliki modal politik untuk wilayah Surabaya,. Bahkan Mantan Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW PRD) Jawa Timur ini menyatakan siap bertarung dengan Arif Afandi, La Nyala, dan Saleh Mukadar jika mereka maju. (beritajatim.com, 05/08/09).

Keseriusan Mohammad Sholeh dalam pencalonannya terlihat ketika menggelar Halal Bihalal dan Dialog Publik, pada 2 Okt 09. Acara ini bertemakan Peluang dan Tantangan Cawali Independen Menuju Pilwali Surabaya 2010. Bertempat di Restoran Ria Galeria Jl. Bangka Surabaya, terlihat spanduk dan banner berslogan Rumah Independen-Rumah Kita. Materi acara ini dipandu oleh Suko Widodo Dosen FISIP Universitas Airlangga. Kebetulan penulis hadir dan diundang pada acara tersebut.

Tampak hadir beberapa kolega Mohammad Sholeh dari berbagai kalangan. Baik dari aktivis mahasiswa, wartawan, pengacara dan LSM. Tampak hadir juga beberapa pengurus parpol, ormas, aktivis tionghoa dan lintas agama meramaikan acara. Acara dikemas menarik mengingat setiap peserta yang hadir memakai pakaian batik. Kebetulan hari yang bersamaan itu ditetapkannya batik oleh Unesco sebagai salah satu cagar budaya.

Mohammad Sholeh sang pelopor calon independen di Jawa Timur ini menyatakan akan melakukan Gugatan Ke MK. Ia akan melakukan judicial review perihal syarat independen 3 persen, menjadi 0,5 persen dari 3 juta penduduk Kota Surabaya. Menurutnya, persyaratan 3 persen sangat memberatkan siapapun yang akan maju sebagai calon independen. Walaupun sebenarnya dirinya mengaku tetap optimis bisa mendapatkan 90 ribu KTP dan surat pernyataan dukungan.

Pemenang Gugatan MK suara terbanyak ini mengklaim elektabilitasnya tinggi dan masuk empat besar. Diantara yang masuk empat besar adalah Bambang DH, Arif Affandi, Fandi Utomo dan Mohammad Sholeh. Hal ini berdasar pada hasil survei independen, kata mantan aktivis yang pernah dipenjara di jaman orde baru ini. Sholeh juga mengaku tidak memiliki beban dengan PDIP, karena dirinya tidak merasa dibesarkan PDIP, tetapi PRD lah yang lebih mebesarkan dirinya.

Tampak hadir salah satu kolega pengacaranya mengatakan, perlu adanya posko-posko sukarelawan untuk mengumpulkan KTP dan bukan hanya dor to dor. Kampanye calon independen perlu tekat yang kuat dan harus menjadi panutan. Semoga harapan dan tantangan Mohammad Sholeh maju dalam pilkada bisa terwujud. Apalagi jika MK mau merubah syarat-syarat calon independen dari 3 persen menjadi 0,5 persen. Amin.(rud)

Tidak ada komentar: