Selasa, 03 November 2009

Tanpa Bambang DH, PDIP Surabaya Kurang Menggigit


Oleh : Syafrudin Budiman, SIP
Pemerhati Sosial Politik dan Media

Walikota Surabaya Drs. Bambang Dwi Hartono, MPd (BDH) adalah orang nomor satu paling dikenal di Kota Surabaya. Dirinya terpilih menjadi sosok Walikota Surabaya sejak 2002 setelah menggantikan Almarhum H. Sunarto Sumoprawiro. Pada periode berikutnya ia terpilih kembali bersama Arif Afandi yang menjadi Wakil Walikota Surabaya. Masa jabatan keduanya akan berakhir sampai 2010 sejak dilantik menjadi Walikota Surabaya 2005 lalu.

Sebelumnya Bambang DH sempat terpilih menjadi Wakil Walikota Surabaya, mendampingi almarhum H.Sunarto Sumoprawiro Walikota Surabaya. Sebagai kader terbaik PDIP Surabaya, akhirnya ia dilantik menjadi Walikota Surabaya menggantikan almarhum Cak Narto yang berhalangan tetap saat pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Bambang DH sebagai politisi lahir dari kalangan pergerakan reformasi di masa tumbangnya rejim otoriter Soeharto. Dirinya aktif sebagai aktifis pro-demokrasi dengan nama organisasi Posko Perjuangan Reformasi Total (PRRT) di Pandegiling Surabaya. Bersama Basuki, (Alm) Isman, AH Thony, Nanang Budi, Armudji dan aktifis PPRT lainnya sering melakukan demontrasi mendukung perjuangan Megawati Soekarno Putri.

Pasca reformasi konstalasi politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Surabaya berubah dengan cepat. Setelah pemilu 1999 PDIP Surabaya segera menggelar Musyawarah Cabang. Dimana terpilih Sutikno sebagai Ketua dan Bambang DH sebagai sekretaris DPC PDIP Surabaya. Selanjutnya dalam penjaringan internal Pilwali Surabaya, Sutikno ditetapkan sebagai Cawali Surabaya. Mantan tahanan LP Kalisosok ini ditetapkan sebagai Cawali berpasangan dengan Slamet Hariyanto Ketua DPD PAN Surabaya sebagai Cawawali.

Pasangan ini akhirnya gagal dan didiskualifikasi sebagai kandidat. Sutikno terbukti tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang. Ketua PDIP Surabaya ini akhirnya gugur dalam pencalonan, karena pernah menjalani hukuman dengan ancaman penjara lebih lima tahun. Sejak kejadian inilah peluang dan karir politik Bambang DH meroket dengan cepat.

Ditambah dukungan kuat dari Presiden Megawati Soekarno Putri dan Ir Sutjipto Soejono Sekjen PDIP waktu itu. Bambang DH menjadi lebih percaya diri dalam menjalankan roda pemerintahannya. Apalagi saat itu PDIP Surabaya memiliki 22 kursi mayoritas. Sehingga dengan mulus di bawah nahkodanya, ia mampu menyelesaikan, setiap kebijakan dengan positif. Baik dalam melakukan efesiensi dan efektifitas pemerintahan.

Bambang DH bermodal basis akademi dan mantan dosen Undip Semarang dirinya mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Ia dianggap aktor utama atau satu-satunya yang berperan dalam keberhasilan pembangunan Surabaya. Mulai program penghijauan taman kota, pavingisasi, pengangkatan PNS sampai penanganan masalah banjir. Semuanya mampu diatasi dan ini merupakan nilai positif bagi Bambang DH saat menata pembangunan Surabaya.

Menjelang Pilwali Surabaya 2005-2010 nama Bambang DH tetap masuk sebagai Cawali Surabaya bersama Saleh Ismail Mukadar (SIM). Sementara itu Wisnu Sakti Buana (Wakil Ketua DPRD Surabaya/Sekretaris DPC PDIP Surabaya) ditetapkan sebagai Cawawali. Ketiganya ditetapkan pada Rapat Kerja Cabang Khusus (Rakercabsus) Penjaringan dan Penyaringan di Hotel V3 Jalan Tambak Bayan, Minggu (11/10/2009).

Sementara Saleh Ismail Mukadar mengatakan, "Harapan kita tetap dua nama karena di cabang kita sudah rapat untuk menggali kira-kira siapa yang muncul. Tapi yang muncul dua nama itu, Bambang DH dan Saleh Ismail Mukadar," kata Ketua DPC PDIP Surabaya ini, di sela-sela Rakercabsus PDIP Surabaya.

Saleh mengatakan hasil ini akan mereka kirim DPP. DPP yang akan memutuskan. Dia berharap DPP akan menetapkan nama Bambang DH sebagai Cawali. "Sekalipun Saya diusung, saya berharap nama Pak Bambang muncul," tuturnya. (detik.com, 11 Okt 09).

Keputusan PDIP Surabaya ini menarik disimak, mengingat aturan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 58 huruf O. Pasal 58 berbunyi, "Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat."

Huruf ini menjelaskan seorang calon, "Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama." Artinya Bambang DH tidak memenuhi syarat sebagai Cawali Surabaya. Kecuali pihaknya melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Kostitusi (MK).

Harapan PDIP Surabaya untuk mengusung Bambang DH sebagai Cawali Surabaya masih menunggu putusan MK. Diperkirakan putusan MK terkait baru bisa turun pertengahan Nopember 2009. "Putusan MK Saya perkirakan 2 sampai 3 minggu lagi," ungkap Mursyid Murdiantoro, kuasa hukum Bambang Dwi Hartono, Sabtu (24/10). Saat ini, lanjutnya, permohonan uji materi judicial review sudah memasuki proses penelitan bukti-bukti.

Mursyid menilai, pasal tersebut melanggar hak konstitusi seorang warga negara untuk memilih maupun dipilih. Seperti tersebut dalam Pasal 27 UUD 45, "Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali."

Pengacara berkacamata itu optimis permohonan yang diajukan pihaknya dikabulkan oleh MK. Alasannya, selama ini MK juga telah mengabulkan permohonan judicial review sejumlah perkara dengan nuansa pelanggaran hak konstitusi warga untuk memilih ataupun dipilih. Seperti terakomodasinya hak memilih untuk orang-orang eks-PKI atau tapol-napol. (www.pdipperjuanganjatim.org, 24 Okt 09)

Berdasarkan hasil survey salah satu media di Surabaya, yang berlangsung 31 Agustus - 5 September 2009. Adapun samplenya sebanyak 349 pemilih dan hasilnya Bambang DH menang jauh di antara kandidat lainnya.

Sebanyak 98,7% (344 orang) responden menyatakan mengenali Bambang D.H dan 42,4% responden mengaku akan memilihnya jika Pilwali dihelat saat itu. Pesaing terdekatnya Arif Affandi Wakil Walikota Surabaya. Arif tercatat 59,7% (208 orang) dan yang menyatakan akan memilihnya 71 orang. Praktis, tingkat popularitas dan keterpilihan Bambang dua kali lipat di atas Arif. Status incumbent keduanya agaknya memberi keuntungan tersendiri.

Bagaimana dengan bakal calon lainnya? Ternyata mereka berada jauh di bawah kedua bakal calon incumbent tersebut. Di level popularitas, yang bisa menembus angka nominal 100 responden hanya dua orang, yaitu Saleh Ismail Mukadar (114 orang atau 32,7%) dan Erlangga Satriagung (108 orang atau 31%). Nama-nama lain masih di bawahnya, seperti Dyah Katarina (23,7%), Tri Rismaharini (19,3%), Wisnu Wardhana (17,7%), M. Sholeh (10%), Adies Kadir (9,3%), Fandi Utomo (6,7%), Yulyani (4,7%), dan paling buncit B.F. Sutadi (3,3%).

Yang menarik adalah soal keterpilihan. Ketika ditanya siapa yang akan dipilih jika Pilwali digelar saat ini, sebagian besar responden masih menunjuk Bambang (42,4%) dan Arif (20,3%), meski persentasenya terpangkas separo dari tingkat popularitas masing-masing. Umumnya, Bambang dinilai responden berhasil mengelola Surabaya dan Arif dianggap bagian dari sukses itu. (Surabaya Post, 10 Sept 09)

Jika dikaitkan dengan realitas nyata serta tingginya eletabilitas dan popularitas Bambang DH. Tentunya PDIP Surabaya tetap akan memilih suami Dyah Katarina ini menjadi Cawali utama. Mengingat PDIP Surabaya sudah tidak memiliki kepercayaan tinggi lagi, jika hanya mengandalkan mesin partai dalam memenangi Pilwali. Fakta menyebutkan dari pemilu ke pemilu suara PDIP Surabaya mengalami penurunan suara dan kursi sangat tajam.

Oleh sebab itu, yang bisa menandingi kekuatan Cawali Partai Demokrat hanyalah Bambang DH. Tanpa Bambang DH, PDIP Surabaya kurang bisa mengigit. Jika ingin tetap menggigit dan diakui eksistensinya, tetap memasang kader terbaik ini sebagai Cawali Surabaya. Bahkan kalaupun gugatan di MK ditolak. Sudah seharusnya PDIP Surabaya mengusung Bambang DH sebagai Cawawali Surabaya.

Lebih baik berkoalisi dengan parpol yang lain dan tidak harus dengan Partai Demokrat. Pilihan taktis bukan pragmatis, lebih rasional berkoalisi dengan partai-partai menengah dan Bambang DH sebagai Cawawalinya. Ini menjadi tanda peringatan secara politik kepada PDIP Surabaya. Jika memaksakan calon selain Bambang DH, pilihannya sama saja bunuh diri. Tentunya nanti Partai Demokrat dengan mudah mengalahkan rival-rivalnya.

Kalaupun nantinya tetap memaksakan kader lainya, baik Saleh Ismail Mukadar maupun Wisnu Sakti Buana. Maka peluang (probabilitas) -nya akan semakin sempit untuk meraih kemenangan. Mengingat mesin Partai Demokrat Surabaya lebih bisa berjalan efektif dibandingkan PDIP Surabaya. Apalagi jika didukung oleh kekuatan kekuasaan 16 kursi DPRD Surabaya, 4 DPRD Jatim dan 3 kursi DPR RI (Dapil I Surabaya-Sidoarjo). Serta didukung oleh kekuatan pamor Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Secara pemetaan kursi DPRD Surabaya, untuk PDIP Surabaya mengalami penurunan drastis. Dari memperoleh 13 kursi pada pemilu legeslatif 2004 menjadi 8 kursi pada pemilu legeslatif 2009. Sedangkan hasil perolehan kursi semua parpol dari jatah 45 kursi, PDIP memperoleh (13) kursi, PKB (11) kursi, Partai Demokrat (5) kursi dan PAN (5) kursi. Sedangkan Partai Golkar (4) kursi, PDS (4) kursi dan PKS (3) kursi.

Selanjutnya pada pemilu legeslatif 2009 dari jatah 50 kursi DPRD Surabaya. PDIP Surabaya juga mengalami penurunan tajam menjadi 8 kursi. Sedangkan Partai Demokrat malah mengalami kenaikan signifikan dari 5 kursi menjadi 16 kursi. Selanjutnya, Partai Golkar (5), PKB (5), PDS (4) dan PKS (5) kursi. Disusul, PAN (2), Gerindera (3) kursi dan terakhir PPP dan PKNU hanya memperoleh masing-masing (1) kursi.

Pertanyaan besar-nya kembali kepada sikap PDIP Surabaya itu sendiri. Apakah mau mengikuti realitas politik yang ada atau memaksakan dengan politik kacamata kuda. Jangan sampai muncul statemen, yang penting bisa mengusung kader sendiri. Walaupun secara aturan dengan modal 8 kursi sudah bisa mencalonkan diri. Tanpa Bambang DH, PDIP Surabaya ibaratkan macan ompong sudah tidak bisa menggigit. Semoga lebih baik. (*)

http://www.surabayapagi.com/index.php?p=detilberita&id=38220

Tidak ada komentar: