Rabu, 30 Juli 2008
KANDASNYA IJTIHAD POLITIK AMIEN RAIS ?
Dengan modal Muhammadiyah sebagai basis dukungan, Mas Amien Rais sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah waktu itu mendirikan PAN. Ijtihad politiknya: tinggalkan asas Islam , Persatuan ummat Islam untuk perjuangan politik tidak lagi relevan Selamat tinggal Masyumi dan PPP. Maka tawaran memimpin Partai Bulan Bintang yang mengaku sebagai pewaris perjuangan Masyumi pun ditolaknya. Demikian pula tawaran yang sama dari PPP yang sejarahnya merupakan fusi Partai Partai Islam yang dipaksakan rezim Orde Baru. juga ditolaknya. PAN adalah Partai Nasional yang mencerminkan kemajemukan keber-agama- an sebagai realitas kehidupan bangsa PAN sebagaimana Partai Partai lain berdasarkan Pancasila,. Yang membedakan dengan Partai lain adalah platform yang diperjuangkannya.
Dalam kenyataan politiknya, PAN selama dua kali Pemilu pada era Reformasi tidak bisa menunjukkan nilai lebih apa apa dari segi pemilihnya. Pemilihnya tak lain ya warga Muhammadiyah sendiri, dikurangi mereka yang sebelum reformasi telah memilih Partai lain terutama Golkar dan PPP, kemudian PBB dan PKS bahkan ada pula yang memilih PDI. Bahkan pada Pemilu kedua prosentase pemilih PAN menurun karena lebih banyak lagi generasi mudanya yang hijrah ke PKS, Tanya kenapa ?
Politisi PAN yang kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Propinsi atau Daerah Kabupaten /kota bukan merupakan representasi dari pemilihnya. Mereka hanya mengandalkan warga Muhammadiyah yang umumnya hanya melihat PAN yang dipimpin bekas Ketua Pimpinan Pusatnya . Barangkali juga karena simbolnya yang juga matahari.. Dari PAN tak pernah ada usaha mencari anggota sebanyak-banyaknya apalagi mengadakan kaderisasi Partai. Numpang sajalah, kalau nomor urut diatas ‘kan terpilih juga. Untuk apa cari anggota, menciptakan kader ? Salah salah malah bisa menggusur mereka sendiri nanti.
Maka ijtihad Mas Amien Rais pun kandaslah. PAN tidak merambah kemana mana, Kalau Pemilu datang dan mau kampanye, mudah saja, toh ada struktur dan jajaran Muhammadiyah yang bisa ditumpangi. Ada sekolah, ada universitas ada rumah sakit ada Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting Muhammadiyah Dimana ada Muhammadiyah disitu tentu ada pemilih PAN. Para pimpinan PAN boleh majemuk, tapi masalah konstituen ya hanya orang Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah biasanya ‘kan orang-orang ikhlas, tidak macam-macam keinginannya, apalagi kedudukan di bidang politik yang banyak godaannya ( sama dengan banyak duitnya).Siapa mau, silahkan. Pimpinan Muhammadiyah tidak pernah merekomendasi siapa-siapa untuk dicalonkan PAN. Mereka yang berambisi banyak kesempatan.
Entah bekal konsep pemikiran apa, apa yang harus diperjuangkan di bidang politik tak tahulah. Yang jelas kalau bisa berhasil jadi anggota Dewan. Perwakilan Rakyat di tingkat apapun, nasib pun berubahlah.Ah, masa iya ? Hal ini bukan berarti bahwa pimpinan PAN tidak berkualitas, apalagi DPP nya Mereka banyak yang berkualitas tetapi tidak punya garis ke massa. Maka tidak ada niatan ingin membesarkan Partai atau memandirikan Partai.
Mereka tak mau susah susah membuka ladang sendiri,merasa cukup saja dengan Ladang Muhammadiyah. Yang tinggal memanen saja. Lalu bagaimana mewujudkan ijtihad politik Amien Rais untuk merambah ke segenap daerah, agama dan lapisan masyarakat ? Itu urusan Pak Amien sendiri saja lah.
Maka ketika muncul Partai Matahari Bangsa yang diprakarsai angkatan Muda Muhammadiyah atau kongkritnya para mantan pimpinan dan aktivis organisasi otonom Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar / Remaja Muhammadiyah, Nassyiatul ‘Aissyiah ( NA ) ,Tapak Suci Putra Muhammadiyah, pimpinan PAN nampak gelagapan sampai ramai ramai “mendemo” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Kongkritnya, mereka meminta agar Pak Din Syamsuddin dalam setiap Da’wahnya jangan mengisyaratkan kedekatannya dengan Partai Matahari Bangsa ( PMB ). Ketua PAN Sutrisno Bachir meminta komitmen Muhammadiyah agar tidak memberi restu politik kepada PMB.
Nampaknya Din Syamsuddin pasca PAN dipimpin Amien Rais, merasa kurang dekat dengan PAN. Bahkan ulang tahun PAN yang notabene lahir dari rahim PP Muhammadiyah, tetapi PP Muhammadiyah sebagai ibu yang melahirkan kok tidak diundang. Malah malah Din sering menerima keluh kesah kader kader Muhammadiyah yang di terlantarkan di PAN.
Tetapi salah seorang kader Muhammadiyah di Jawa Timur yang pro dan menyambut antusias PMB berkata lantang.” Ijtihad politik Pak Amien telah kandas. Kami ingin kembali ke khittah Muhammadiyah tahun l97l yang diputuskan Mu’tamar Muhammadiyah di Ujung Pandang . Disitu dinyatakan bahwa Muhammadiyah berjuang dibidang da’wah kemasyarakatan, sedang di bidang politik perlu dibentuk satu partai politik.Dan satu partai politik itu sekarang telah terbentuk yaitu PMB, Partai Matahari Bangsa yang sepenuhnya digerakkan oleh kader-kader Muhammadiyah”
“ Dengan kepribadian yang utuh 100 % Muhammadiyah kami akan bekerjasama dengan segenap anak bangsa menegakkan kebenaran keadilan dan kejujuran berkhitmad untuk Indonesia Raya . Partai bagi kami bukan biro jasa urusan karir pribadi bagi yang berambisi kekuasaan. PMB adalah Partai bermisi da;wah, amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Muhammadiyah dan PMB adalah dua sisi mata uang yang sama “ Katanya bersemangat..
Wah, Pak Sutrisno Bachir dan kawan kawan bisa tambah sewot. Tetapi apa semudah itu PMB meiwujudkan konsep dan citranya tersebut kedalam kenyataan.? Di daerah daerah banyak orang Muhammadiyah yang merasa mapan karena duduk sebagai anggota DPRD mewakili PAN. Dengan kedudukannya itu tak mungkin mereka dengan mudah menerima PMB . Begitu pula yang di PBB, PPP dan PKS. Mungkinkah PAN yang paling besar menggaet pemilih dari Muhammadiyah akan terbelah , atau malah pemilih PAN bedol desa bergabung ke PMB?
Hasil Pemilu 2009 yang akan menjawabnya..
*) Mantan Sekum dan Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah periode l966-l969 dan periode 1969- 1972
Tim Ahli Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005- 2010
BIODATA PENULIS
Nama : Drs. H. Imam Achmadi
Alamat : Jl. Rajawali 20 Rewin-Sidoarjo
Pekerjaan : Pensiunan Kakanwil Depsos Jawa Timur
Hoby : Menulis
Aktivitas : Koordinator Inisiator Partai Matahari Bangsa Jawa Timur dan Sekarang Ketua Majelis A'la Pimpinan Wilayah Partai Matahari Bangsa Jawa Timur.
PMB : Solusi Kegamangan Politik Warga Muhammadiyah
Oleh : Syafrudin Budiman, SIP.*
Kami Telah Berjanji Memimpin Negeri Ini,
Seperti Matahari Takkan Lelah Menyinari
Kalimat di atas adalah paragraf pertama dalam lagu Mars Partai Matahari Bangsa. Partai ini didirikan dan dilahirkan oleh eksponen, aktifis dan simpatisan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). PMB ini lahir pada 8 Januari 2006 di Jakarta. PMB juga diperkenalkan pada publik melalui Soft Launcing 11 Januari 2007 di Sahid Hotel Jakarta dan rencananya akan dideklarasikan di Yogjakarta 14-16 Desember 2007 tempat kelahiran tokoh Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan.
Jika di lihat dari syair Mars PMB, terlihat jelas bahwa, ada semangat yang tinggi dari generasi muda Muhammadiyah untuk ikut andil dalam tampuk kekuasaan. Dengan kalimat akan berjanji memimpin negeri Indonesia ini yang memiliki jumlah penduduk 220 juta lebih dan dua ribu lebih pulau dari Sabang sampai Merauke.
Walaupun dibantah oleh pendirinya, PMB diduga adalah pecahan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai baru berlogo mirip lambang Muhammadiyah ini memiliki garis-garis perjuangan Ke-Islaman yang jelas. Partai ini adalah Partai Islam Berkemajuan yang meletakkan landasan perjuangannya kepada prinsip-prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, terbuka terhadap kemajuan, cinta damai dan menghargai kemajemukan agama, budaya dan etnisitas.
PMB juga meyakini bahwa Islam dapat membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan material (lahiriyah) dan spiritual (bathiniyah). Oleh karena itu, tujuan perjuangan politik PMB diarahkan pada upaya menjaga kemuliaan Islam dengan jalan mengupayakan pemenuhan kebutuhan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan (harasat al-din wa siyasat al-dunya).
Selanjutnya dalam rangka membangun kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut, PMB memiliki enam butir platform. Diantaranya; pertama Integritas Nasional (Al-Wahdah Al-Wathaniyah) PMB meyakini bahwa seluruh persoalan yang dihadapi bangsa ini hanya dapat diselesaikan bila seluruh komponen bangsa ikut berpartisipasi secara nasional. (al-maslahah al-‘ammah).
Kedua Demokrasi (Al-Dimuqrathiyyah) PMB memperjuangkan demokrasi secara konsisten. Prinsip demokrasi antara lain ; al-musawah (egalitarianisme), al-hurriyah (kemerdekaan), al-ukhuwwah (persaudaraan), dan al-syura (musyawarah).
Ketiga Keadilan (Al-‘Adalah) PMB meperjuangkan terwujudnya nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyat. Keadilan adalah milik seluruh rakyat tanpa terkecuali, dan harus diperjuangkan dengan membumikan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan keadilan, upaya mewujudkan cita-cita politik Islam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat tercapai.
Keempat Supremasi Hukum (Tafawwuq Al-Hukmi) Partai Matahari Bangsa berjuang untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, sehingga prinsip kesamaan derajat di depan hukum yang merupakan hak setiap individu dapat terwujud.
Kelima Penegakan Nilai-Nilai Kemanusiaan (Qamat Al-Huquq Al-Insaniyyah) PMB berjuang bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat. Penegakan nilai-nilai kemanusiaan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang menjamin dan melindungi hak hidup (hifdz al-nafs), beragama (hifdz al-din), kebebasan berfikir (hifdz al-‘aql) dan kepemilikan (hifdz al-mal).
Dan yang ke-enam adalah Kesejahteraan Rakyat (Al-Mashlahat Al-Ijtima’iyah) PMB meperjuangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. PMB selalu berjuang bagi terwujudnya kesempatan memperoleh pendidikan (tarbiyah) dan pelayanan kesehatan (‘afiyah) yang berkualitas. (Platform PMB : 2006).
Dari ke-enam platform di atas menunjukkan bahwa PMB memang benar-benar adalah Partai Islam yang lahir dari Muhammadiyah dan didirikan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. Bahkan ada Ust. Zainuddin, tokoh Muhammadiyah dari Madura mengatakan bahwa, AD/ART, Platform dan Asas Perjuangannya mirip atau sama dengan tujuan berdirinya Partai Politik Islam Masyumi. Masyumi adalah wadah politik pertama kali umat Islam dan warga persyarikatan Muhammadiyah di Indonesia. Sebelum akhirya diminta dibubarkan oleh Sukarno pada tahun 1960 bersama-sam PSI, karena alasan tokoh-tokoh Masyumi dituduh terlibat pemberontakan PARMESTA.
Sementara sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar PMB, Pasal 7 tentang Tujuan. Partai Matahari Bangsa bertujuan mewujudkan misi Islam berkemajuan menuju masyarakat utama, adil, makmur dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Bahkan dalam Anggaran Dasar PMB, Pasal 8 tentang Usaha disebutkan; Dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar Partai Matahari Bangsa berjuang untuk : 1 Memperkuat kedaulatan dan keutuhan Negara Republik Indonesia., 2 Mengembangkan kehidupan politik kebangsaan yang demokratis, partisipatif dan beradab. 3 Menciptakan tatanan perekonomian nasional yang berpihak kepada seluruh rakyat. 4 Menegakkan keadilan dan kedaulatan hukum. 5 Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. 6 Mengembangkan kepribadian bangsa yang luhur dan kehidupan sosial-budaya yang egaliter.
Pembaharuan Politik Muhammadiyah
Akhir-akhir ini warga Muhammadiyah resah dan mengalami kegamangan politik, tidak jelas arah ideologi-nya mau kemana. Sehingga dengan kehadiran PMB menjadi angin segar bagi warga Muhammadiyah. Kekecewaan warga Muhammadiyah terhadap partai politik yang ada telah mengalami titik puncaknya. Baik kepada PAN, PKS, PBB, PPP dan PBR sebagai partai berbasis Islam modern. Walaupun secara organisatoris Muhammadiyah tidak berpihak kepada salah satu partai.
PAN pasca lengsernya Amien Rais semakin tidak jelas. Soetrisno Bachir (SB) Ketua Umum DPP PAN ini sering diterpa isu yang miring. Masalah yang melekat diantaranya dugaan dan tuduhan berselingkuh dengan artis Nia Paramita, istri dari aktor tampan Gusti Randa. Pebisnis dari Pekalongan ini juga terlalu dekat dengan berbagai dunia ke-artisan dan bisnis keluarganya diduga terlibat kredit macet di salah satu bank swasta di negeri ini.
Selain itu SB langkah politiknya dianggap terlalu pragmatis. Ia terlalu dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedikit-sedikit datang ke Istana dan langkahnya mirip gaya pebisnis yang sering main lobi sana lobi sini. Maklum sebelum menjadi ketua DPP PAN, ia adalah konglemerat handal yang memiliki aset senilai trilyunan. Setiap langkah politik ada hitung-hitungannya seperti bisnis.
Lebih parah lagi dirinya juga sering berbeda pendapat dengan Amien Rais. Perihal permasalah Blok Cepu, impor beras, kenaikan BBM dan lain-lain. Hal ini menunjukkan wacana yang negatif, “Amien Rais saja yang nota bene-nya adalah Ketua Majelis Pertimbangan Partai Partai Amanat Nasional (MPP PAN) sering dilangkahi. Apalagi pada Muhammadiyah.”
Sedangkan PKS, adalah partai Islam yang juga menjadi sandaran politik kedua warga Muhammadiyah. Partai yang menggunakan sarana dakwah untuk membesarkan partainnya ini, memang mampu menarik simpati sebagian warga Muhammadiyah. Terutama basis Muhammadiyah yang alergi terhadap partai nasionalis-sekuler yang cenderung di duga liberal-kapitalistik. PKS mampu mengambil ruang kegamangan warga Muhammadiyah dengan jargon-jargon Islam. Namun di lapangan sikap politik sering berbenturan dengan Muhammadiyah secara organisasi. Misalnya ketika Muhammadiyah mendukung pencalonan Amien Rais sebagai presiden PKS sangat ragu-ragu dan maju mundur.
Selain itu di lapangan ruang dakwah kader-kader PKS sering mendistorsi Muhammadiyah. Bahkan mampu menggoyahkan spirit ke-Muhammadiyahan warga Muhammadiyah di daerah-daerah. Karena khawatir dengan gerak PKS, akhirnya dalam Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 149 Kep/1.0/b/2006 tentang Kebijakan PP Muhammadiyah tentang Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha. Muhammadiyah dengan terang menyebut PKS sebagai partai dakwah dilarang mendompleng amal usaha dan gerakan dakwah Muhammadiyah di tingkatan basis gerakan dakwah Muhammadiyah.
Memang surat edaran itu tidak ada kaitan khusus, umum dan netral saja untuk meneguhkan identitas Muhammadiyah. Diharapkan yang setuju dengan gerakan dakwah Muhammadiyah, berpegang teguh pada gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebgai lahan acuan teologis, sebagai lahan berdakwah dan beramal.
Muhammadiyah ibarat tenda yang besar. Demikian Prof. Dr. Din Syamsuddin menganalogikan organisasi Islam modernis yang dipimpinnya. Di dalam Muhammadiyah terdapat berbagai orang dengan bermacam latar belakang aliran dan paham keagamaan dalam Islam. Semua bisa masuk menjadi pengurus atau anggota perserikatan Islam ini, tapi dengan satu syarat: harus tunduk pada nilai-nilai, khitah, dan aturan ke-Muhammadiyah-an.
Muhammadiyah menegaskan tetap teguh dengan khitahnya sebagai lembaga dakwah dan amal yang tidak terkait dengan partai politik mana pun. "Klaim-klaim itu pasti ada, tapi itu dari politisi. Bahwa Muhammadiyah dekat dengan PAN (Partai Amanat Nasional), itu klaimnya PAN. Dekat dengan PBB (Partai Bulan Bintang) atau PPP (Partai Persatuan Pembangunan), itu klaim mereka," tutur Din Syamsuddin (Gatra Nomor 8 Kamis, 4 Januari 2007)
Oleh karena hal tersebut di atas sangatlah memungkinkan bagi PMB untuk lebih leluasa mengembangkan pengaruh politiknya di Muhammadiyah. Jika dilihat dari nama-nama pendiri-pendirinya seratus persen adalah warga dan pegurus Muhammadiyah baik yang pernah di Ortom Muhammadiyah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah dan bahkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain itu juga, struktur kepengurusan PMB seratus persen adalah warga Muhammadiyah.
Jadi sudah jelas tunggu apalagi? Gerak dan perjuangan PMB mirip dengan Muhammadiyah. Bahkan para kader PMB yang juga secara terang faktanya mereka aktifis dan bahkan pengurus Muhammadiyah di semua tingkatan. Para kader PMB akan lebih leluasa berkampanye di lingkungan Muhammadiyah. Para kader PMB yang masih muda-muda dengan jenjang ke-Muhammadiyahaannya yang tidak diragukan lagi. Akan lebih mudah meraih simpati warga Muhammadiyah ketimbang partai-partai lainnya yang ingin meraih simpati warga Muhammadiyah. Paling-paling yang menolak keberadaan berdirinya PMB hanya segelintir orang. Sebut saja misalnya para aktifis Muda Muhammamdiyah yang cenderung berpaham liberal dan paradoks dengan perkembangan dakwah Muhammadiyah.
Jika melihat situasi di atas tentulah PMB akan diharapkan membawa angin segar dalam mengartikulasikan keinginan besar warga Muhammadiyah. Bergerak saling menguntungkan antara gerakan dakwah dan politik. Langkah PMB tentunya tidak akan pernah mendistorsi Muhammadiyah, bahkan saling mencapai tujuan kerjasama yang menguntungkan Muhammadiyah (simbiosis mutualisme). Bahkan jika tidak ada halangan PMB sebagai partai Islam akan menjadi sandaran utama aspirasi dan pilihan warga Muhammadiyah. Kita tunggu di lapangan. Wassaslam..
* Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP-IMM) Periode 2006-2008 dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Partai Matahari Bangsa (PW-PMB) Jawa Timur.
Parpol Besar Ganjal Capres Alternatif
Proses politik pembahasan revisi UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres diwarnai ambisi parpol besar untuk mempersempit peluang capres alternatif. Gejala itu ditunjukkan PG dan PDIP melalui fraksinya di DPR.
PG dan PDIP menginginkan parpol pengusung pasangan capres 2009 disyaratkan memiliki minimal 30 persen perolehan suara pemilu legislatif. Bila angka ini berhasil disepakati dalam UU Pilpres, maka hanya dua pasang capres yang punya peluang bertarung di Pilpres 2009.
Berdasarkan realitas pemilu legislatif 2004, PG memperoleh 21 persen suara. PDIP dapat meraup 19 persen suara. Jika persyaratan 30 persen suara hasil pemilu legislatif 2009 dijadikan patokan mengusung pasangan capres, maka peluang terbesar dimiliki PG dan PDIP.
Modal politik yang dimiliki PG dan PDIP sangat potensial untuk mencari tambahan dukungan dari parpol lain. Keberadaan parpol lainnya terpaksa harus berkoalisi dengan salah satu parpol besar yakni PG atau PDIP.
Memang, masih ada peluang koalisi lain berupa bergabungnya parpol-parpol kecil dan menengah untuk mengusung pasangan capres sendiri. Mereka bisa melakukan itu asalkan memiliki jumlah prosentase perolehan suara minimal 30 persen. PG dan PDIP punya potensi politik untuk menghalang-halangi munculnya koalisi ini. Sebab, koalisi parpol kecil dan menengah bakal memberi peluang bagi capres alternatif.
Salah satu manfaat pilpres hanya diikuti 2 pasang adalah ada jaminan bahwa pelaksanaan pilpres hanya berlangsung 1 putaran. Selain biayanya lebih hemat, juga ongkos sosial politiknya lebih rendah. Namun, di sisi lain rakyat memiliki keterbatasan untuk memilih capres alternatif selain figur pasangan capres yang diusung PG bersama koalisinya, dan PDIP bersama parpol pendukungnya.
Saat ini publik sudah dapat gambaran, PDIP pasti mengusung Megawati sebagai capres 2009. Parpol berlambang kepala banteng bermulut putih ini hanya tinggal satu langkah politik untuk menentukan cawapres yang bakal dipasangkan dengan Megawati.
Posisi politik PDIP saat ini sangat diuntungkan karena parpol ini konsisten berada di luar pemerintahan. Tidak ada kader PDIP yang menjadi anggota kabinet pemerintahan SBY-JK. Opini rakyat sudah melekat bahwa PDIP dianggap sebagai partai opisisi.
Secara alamiah, partai oposisi akan sangat diuntungkan apabila kinerja pemerintahan jelek dan mengecewakan rakyat. Selama hampir empat tahun pemerintahan SBY-JK ternyata banyak celah yang bisa disebut mengecewakan rakyat.
Secara teoritik, PDIP sangat diuntungkan dengan kondisi ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan SBY-JK. Sehingga, capres yang diusung PDIP punya peluang untuk dapat simpatik rakyat pemilih.
Persoalannya hanya pada figur capres yang bakal diusung PDIP. Jika PDIP tetap ngotot mengusung capres Megawati, perlu dihitung lebih cermat tentang peluang kemenangannya. Sebab, Megawati termasuk stok lama. Dia pernah menjadi presiden dan kalah dalam Pilpres 2004. Bagaimana pun kekalahan Megawati pada Pilpres 2004 merupakan bukti bahwa rakyat menganggap kinerja pemerintahan Megawati jelek.
Tidak gampang untuk meyakinkan publik bahwa Megawati maju jadi capres 2009 bisa memberikan harapan baru bagi rakyat. Tentunya, PDIP lebih mudah menyusun strategi pemenangan pilpres bila mampu memberikan figur capres baru. Meski pun harus diakui, pembaruan seperti itu tidak mudah dilakukan di internal PDIP.
Realitas hasil Pilpres 2004 memberi pelajaran politik berharga bagi elit politik. Waktu itu sangat kuat munculnya aspirasi rakyat tentang perlunya pemimpin baru di negeri ini. Siapa pun tokoh-tokoh stok lama yang ingin maju dalam Pilpres 2009, hendaknya mewaspadai kondisi politik 2004 bakal terulang pada 2009.
Dengan mempertimbangkan perubahan politik seperti itu, maka ada tiga prediksi peluang kemenangan bagi capres 2009. Pertama, figur SBY-JK masih berpeluang menang. Kondisi politik ini tercipta karena rakyat karena rakyat belum yakin bahwa pemimpin baru belum tentu berhasil membawa pada keadaan yang lebih baik.
Pemikiran ini dilatarbelakangi bahwa meski pun SBY-JK belum dianggap punya kinerja bagus, tapi perlu diberi kesempatan melanjutkan program-programnya yang belum tuntas. Tentunya, SBY-JK masih dipercaya oleh rakyat untuk memimpin lagi benar-benar tidak dikaitkan dengan faktor parpol mana yang mengusung pasangan ini. Meski pun demikian, kondisi politik akan berbeda bilamana pasangan SBY-JK pecah dalam Pilpres 2009.
Kedua, rakyat merindukan mantan pemimpin lama bisa tampil lagi. Kondisi politik seperti ini tumbuh subur bilamana pemerintahan SBY-JK dianggap gagal dan kinerjanya tidak lebih baik dari rezim sebelumnya. Lantas, siapa mantan pemimpin lama yang dimaksud? Tentu figur yang digadang-gadang adalah Gus Dur atau Megawati.
Ketiga, rakyat sudah bosan dengan tokoh lama, baik yang masih menjabat atau yang sudah mantan. Kondisi politik seperti ini yang mendorong tampilnya capres alternatif selain SBY, Gus Dur, Megawati, dan Jusuf Kalla. Persoalannya adalah sampai seberapa kuat capres alternatif bisa mendapat dukungan kendaraan politik dari parpol.
Jika capres alternatif mampu mengumpulkan dukungan banyak parpol kecil sehingga mencapai jumlah minimal 30 persen perolehan suara legislatif, maka peluang munculnya capres alternatif tidak boleh dianggap remeh. Dari pengalaman di beberapa pilkada, ternyata dominasi parpol besar (PG, PDIP, PD) mulai rontok. Calon kepala daerah dari parpol besar justru dikalahkan jago dari gabungan parpol kecil.
dari www.slamethariyanto.wordpress.com
PMB Rekomendasikan 13 Nama yang Layak Jadi Capres
Jakarta- Partai Matahari Bangsa (PMB) merekomendasikan sebanyak 13 tokoh nasional yang dianggap layak untuk dicalonkan sebagai presiden pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009.
Rekomendasi nama 13 tokoh yang berpeluang masuk bursa kepemimpinan nasional tersebut merupakan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Jakarta, Minggu.
Ke-13 tokoh tersebut adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum PMB Imam Addaruqutni, mantan Ketua Umum PP Muhammdiyah M Amien Rais, Mensesneg Hatta Radjasa, mantan Menteri Agama Malik Fajar dan Ketua PP Aisyiah Chamamah Suratmo.
Selain itu mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, tokoh muda Muhammadiyah Jefrie Geovanie, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Hajriyanto Y Tohari, dan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto.
Usai menutup Rapimnas, Ketua Umum PMB, Imam Addaruqutni mengatakan, pihaknya akan terus mengamati dan memonitor perkembangan ke-13 tokoh tersebut di masyarakat.
"Nama-nama tersebut nantinya diharapkan akan mengerucut menjadi satu nama menjelang Pilpres 2009," katanya, didampingi Sekjen Ahmad Rofiq dan jajaran pengurus PMB lainnya.
Imam menambahkan, masih ada waktu sekitar setahun untuk memproses ke-13 nama tersebut hingga mengerucut menjadi satu nama.
"Kita punya formulanya, kemungkianan konvensi atau pemilu raya di kalangan intern PMB juga bisa. Peluang lewat konvensi sekitar 80-90 persen. Tetapi yang jelas, kita akan jalin komunikasi intensif dengan 13 tokoh itu," katanya.
Inginkan pemimpin altenatif
Mengenai tidak masuknya nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla di antara 13 nama itu, Imam mengatakan, para peserta Rapimnas menginginkan pemimpin nasional alternatif yang mampu membawa perubahan.
Menurut dia, PMB ingin agar masyarakat tidak terjebak pada polarisasi terhadap satu figur, sehingga masyarakat perlu dihadapkan pada pilihan alternatif.
"Sri Sultan memiliki hubungan historis dengan Muhammadiyah, karena pendiri Muhammadiyah yakni KH Ahmad Dahlan pernah menjadi rujukan Kraton, sedangkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto dianggap memegang peranan penting dalam masalah keamanan," katanya.
Ketika ditanya masuknya nama Amien Rais, Imam menjelaskan Amien termasuk tokoh populer dan tokoh reformasi, sehingga meski berbeda pendapat tetapi PMB tidak bermusuhan dan menganggap sebagai tokoh nasional yang masih "gemerlap".
"Apalagi di partainya yang lama (PAN), beliau tidak lagi disebut-sebut sebagai capres," katanya.
Rapimnas PMB itu juga menargetkan mendapatkan sebanyak 1.700.000 kader dan berupaya memperoleh suara sebesar 7 persen pada Pemilu 2009.
"Kita akan berusaha melewati perolehan suara maupun kursi di DPR RI sebesar tujuh persen. Kalau bisa dapat 10 persen kursi di DPR Alhamdulillah, tetapi target kita adalah lolos ketentuan electoral threshold dan parliamentary threshold," kata Imam.
Rapimnas PMB yang berlangsung 25-27 Juli itu merupakan yang pertama kali sejak ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). (*)
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/27/pmb-rekomendasikan-13-nama-yang-layak-jadi-capres/
PMB TARGETKAN MADURA MENJADI BASIS
Hal ini diungkapkan, Syafrudin Budiman, SIP Sekretaris Pimpinan Wilayah Partai Matahari Bangsa (PW PMB) Jawa Timur, Senin (25/04), saat Keliling Madura dari Bangkalan sampai Sumenep, menemani Ketua Umum Pimpinan Pusat PMB, H. Imam Addaruqutni, MA.
"Partai kami adalah partai Islam Berkemajuan, Jadi Ideologi Islam menjadi nafas kami. Ini sangat cocok dengan kondisi Madura yang 99 persen penduduknya adalah Muslim yang taat," kata Syafrudin.
Menurutnya, bidikan basis massa PMB adalah warga Nadliyin, Muhammadiyah, Persis dan warga ormas Islam lainnya. "Kami akan memperjuangkan Syariat Islam berlaku di Madura. Dimana kalau Aceh adalah serambi Mekkah, maka Madura adalah serambi Madinah," ujar Syafrudin yang juga Aktivis Pemuda Ormas Islam di Jawa Timur ini.
Lanjut Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini, Perjuagan Islam sesungguhnya adalah mengangkat harkat martabat manusia sesunghnya, "Gerakan Islam adalah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Perangi korupsi dan berantas Kemiskinan," Ujarnya.
Sementara, Ketua PD PMB Bangkalan Sjobirin Hasan menyatakan, PMB sebagai partai Islam, harus konsisten dalam perjuangannnya. "Isyah Allah PMB akan melahirkan kader-kader muda Islam yang handal. Sehingga ketika dalam menjalankan amanahnya bisa bekerja maksimal dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
Mantan Direktur PDAM Bangkalan ini juga menjelaskan, target kami di Bangkalan adalah 5 Kursi atau satu fraksi. "Ini agar perjuangan kita kuat dan maksimal, oleh karena itu doakan saja PMB bisa diterima di Madura pada umumnya dan Bangkalan pada khususnya," Jelasnya.
Sementara Ketua Umum PP PMB selain mengunjungi PD PMB Bangakalan juga menyempatkan diri bersilaturrahim dengan PD PD PMB Sampang. Selanjutnya langsung ke Guluk-Guluk Sumenep mengahadiri acara Perinagtan Maulid Nabi dan terakhir mampir di PD PMB Pamekasan. (tim)
Foto : tampak Imam Addaruqutni,Ketua Umum PP PMB di dampingi Sjobirin Hasan Ketua PD PMB Pamekasan dan Syafrudin Budiman Sekretaris PW PMB Jatim.
SOSOK SYAIFUL HIDAYAT : Dekat ke Rakyat dan Tidak Obral Janji.
SYAIFUL HIDAYAT
KETUA KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Syaiful Hidayat adalah kader utama yang di tempatkan oleh Pimpinan Pusat Partai Matahari Bangsa (PP-PMB) di Jawa Timur.Pasalnya selain menjabat sebagai Ketua Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial PP PMB.Ia juga terpaksa kerja ekstra, karena didaulat menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) PMB di Jawa Timur. " Saya sering turun ke daerah-daerah yang harus digarap di Jatim. Kunci kesuksesan politisi harus sering dekat dengan konstuen atau turun ke masyarakat bawah," ujar dokter jebolan UI ini.
Menurut pria kelahiran Madura ini, dirinya sering keliling daerah di Jatim. Daerah Kabupaten/Kota yang pernah disinggahinya melebihi jari-jari yang ada ditangannya. "Yang pernah saya datangi, kota kelahiran saya sendiri Pameksan, Kediri, Batu, Malang, Mojokerto, Sumenep, Surabaya, Nganjuk, Blitar, Tulungagung, Jombang, Bangkalan dan daerah-daerah lainya," terang Syaiful yang juga tidak segan-segan keliling Jawa dan Bali menemani Ketua Umum PP PMB, Imam Addaruqutni turba.
Mantan Aktivis PII Pamekasan ini dari segi aspirasi politik, dirinya hidup di lingkungan keluarga yang sangat plural dan di Madura itu sangat kental sbg basis NU yang sebagian besar aspirasinya disalurkan ke PKB atau PPP. Ia menjelasakan, saat sekarang ini orang sudah pesimis dan antipati kepada parpol dan para pelakunya karena ekonomi tidak kunjung membaik, korupsi tetap merajalela,orang miskin bertambah.
"Politisi yang lama hanya obral janji-janji para kontestan pemilu,baik legislatif maupun pilpres," untuk itu dirinya ikut andil dalam PMB untuk merubah sistem yang sudah jelek ini.
Syaiful menambahkan, Apa yang membuat kita tetap terpuruk? Kuncinya adalah penegakan hukum yang tebang pilih dan tidak tegas sehingga tidak menimbulkan rasa jera dan ketakutan.Para pencoleng dan garong bisa dengan mudah mempermainkan dan berkolusi dengan aparat hukum.
"Akibatnya pemberantasan korupsi menjadi tersendat. Contoh yang paling riil adalah kasus BLBI yang sampai sekarang seperti benaNg kusut," kata dokter spesialis paru/pernapasan di RS Persahabatan Jakarta Timur ini.
Namun menurutnya, PMB lahir dari semangat untuk membenahi negara yang tidak bisa diserahkan kepada orang yang tidak amanah karena terlibat dengan masa lalu. Semua kader dan fungsionaris PMB adalah orang-orang muda yang masih fresh, tidak ada keterkaitan dengan dosa terdahulu.
"Saatnya kaum muda mengambil alih kepemimpinan yang gagal mencegah keterpurukan bangsa ini," (tim)
Curriculum Vitae : Lahir di Pamekasan 10 Januari 1974
Lulus Fak Kedokteran UI 2000
Aktifis PII Pamekasan 1990-1993
Sekarang dokter spesialis paru/pernapasan di RS Persahabatan,JakTim
Menikah dengan 1 anak (3,5 tahun), Faizuddin Yusuf Yudha
Nama istri : dr Ita Fatati, dokter di RSCM.
Kamis, 17 Juli 2008
PEMUTAHIRAN INTENSI POLITIK MUHAMMADIYAH
Tulisan ini pernah dimuat dalam buku menyambut Muktamar 45 Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEAD) Jakarta , 2005. Saya sajikan lagi ke ruang pembaca karena substansi pikiran dalam tulisan ini kemudian benar-benar mewujud dalam Partai Matahari Bangsa yang dibangun oleh para aktivis muda Muhammadiyah.
Dua alasan yang mendasari tulisan ini―pertama, harapan kuat akan lahirnya putusan-putusan penting, krusial, dan strategis yang akan memberi arahan bagi gerakan pembaruan dan pembaruan gerakan atas nama para pemangku kepentingan (stakeholders) Muslim modernis Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan lebih khusus lagi angkatan muda sebagai segmen mayoritas yang bakal menghadapi tantangan yang bercorak realis-pragmatis, dan, kedua, semangat perubahan dari kondisi konstelasi sosio-kultural, ekonomi, dan politik nasional yang otoritarian dan membelenggu sampai menjelang dan awal abad 21 ke arah demokratisme (orientasi kerakyatan) serta pengaruh arus globalisasi termasuk globalisasi demokrasi sebagai dasar hidup bersama (common platform) yang akan menentukan arah perkembangan pola kehidupan masyarakat baru dunia di satu pihak, dan, di pihak lain, radikalisasi neoliberalisme yang membonceng proses public policy yang juga akan (memaksa) merasuk ke dalam semua strata kehidupan kita secara nasional.
Karena kondisi real ini, maka Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang berlangsung pada 3-8 Juli 2005 di Jawa Timur ini, kiranya akan menjadi tiang pancang bagi pemutakhiran muhammadiyah itu sendiri. Pemutakhiran itu seyogyanya menyangkut “jati diri” Muhammadiyah yang sering disebut sebagai kelompok Islam revivalis, reformis, dan juga modernissebagai gerakan organisatoris keagamaan (harakahjam’iyyah) maupun sebagai gerakan sosial-komunal (harakah jamâ’ah). Pemutakhiran jam’iyyah dalam dakwah keagamaan amr ma’ruf nahy munkar menyangkut spektrum sempit: tawhid dan fiqh peribadatan, sedangkan spectrum luasnya menyangkut pembumian (secularization) serta pribumisasi/lokalisasi (indigenouzation and localization) dalam kerangka kehidupan pluralisme-keberbangsaan Indonesia (syu’ubiyyah-qaba’iliyyah-Indonesiyyah).
Pemutakhiran pada level harakah jam’iyyah dapat dimulai dengan proses dekonstruksi-rekonstruksi atas segenap konsepsi-konsepsi dasar keagamaan (mafâhim ushūliyyah) Muhammadiyah (baca: warga Muhammadiyah) selama ini serta konsepsi-konsepsi aplikatif syar’iyyah (mafâhim furū’iyyah tathbīqiyyah) yang menyangkut ibadah dan mu’amalah (Taimiyyahisme). Dalam aspek ini, pola hubungan dialektis, sebab-akibat (syarth-masyrūt) antara proyeksi social-kultural-politis dengan konstruk teologis harusnya bersesuaian secara matriks dan simetris.
Karena itu, usaha menimbang kembali secara kritis konstruk pemikiran (faham) teologis Muhammadiyah berikut implikasi-implikasinya diperlukan. Misalnya, perlukah Muhammadiyah membakukan konsepsi teologis tertentu sehingga dengan demikian Muhammadiyah dapat disebut penganut “aliran” teologis, atau, tanpa “aliran” itu tidak bisa disebut Muhammadiyah atau sebaliknya. Demikian seterusnya sampai pada tingkat praktis (‘amaliyyah).
Sedangkan pemutakhiran pada level harakah jama’ah dapat dimulai dengan upaya pembangunan kembali ideal-ideal Muhammadiyah pada tataran sosial yang diikatkan pada, satu pihak, historisitas socio-cultural and socio-political setting, dan di lain pihak, proyeksi-proyeksi terbarukan bidang socio-cultural and socio-political achievements, semacam imagined community dengan peran optimal Muhammadiyah di dalamnya.
Kiranya perlu kita timbang juga apakah ada gap antara konstruk teologis mafāhim ushūliyyah dengan proyeksi-proyeksi socio-politico-cultural tersebut dalam rangka mafâhim furū’iyyah tathbīqiyyah. Jadi, pada setiap aspek sosio-kultural dan politik selalu memiliki tiga aspek “sebelum, sedang, dan sesudah” (pre, progress, and post) sejalan dengan ideal Islam paripurna (Islam kāffah).
Kita tidak menginginkan Muhammadiyah dirancang dan diarahkan menjadi semacam pola hidup paguyuban yang dikendalikan oleh kekuatan sekelompok oligarkis apalagi oleh hegemoni kharismatik an sich sebagaimana terdapat dalam tribal clans (klan-klan kesukuan) yang memasung kritisisme di satu pihak dan stagnasi (jumud) di lain pihak secara bersamaan. Jika ini terjadi, jelas ini sebuah malapetaka besar atas klaim kaum pembaharu ini.
Sebelum krisis identitas ini melahirkan jumud dan taqlid lebih parah lagi, maka sekaranglah saatnya bersikap tegas untuk menghentikannya. Pada hemat penulis, alasan inilah maka kita hadir di tengah pluralitas bangsa ini serta, dalam batas tertentu, demi eko-sistem pluralitas pulalah misi dakwah dijalankan, sejalan dengan risalah Islamiyah, bukan untuk menghancurkan melainkan penyelamatan (taslīm), mengutamakan tebar kedamaian (ufsussalāma bayna kum) hingga terbuktikan bahwa Islam benar-benar merupakan wujud kasih sayang Allah pada manusia dan alam serta kasih sayang kita (baca: umat Islam) pada sesama (rahmatan li’l ‘alamin) yang pada akhirnya konsepsi “al-Islam ya’lu wa lâ yu’la ‘alayh tidak disalah pahami, baik oleh sesama kita maupun orang yang berbeda—Muslim maupun non-Muslim, sebagai kekuatan Islam yang culas melainkan Islam sebagai agama adhi luhung yang toleran (tasāmuh).
Bukankah ijtihad juga kita akui sebagai kekuatan sekaligus metodologi di mana akal logis dan rasional mendapat tempat khusus di sini sehingga mafāhim furū’iyyah dimungkinkan terus berkembang ke arah spesifik (juz’iyyah), lokalistik (mahalliyyah), mendisini/indigenous (makāniyyah), dan unggul (imtiyāziyyah). Dengan demikian, kita dapat bebas dari perangkap yang menjerumuskan kita ke dalam gejala formalisme ritual lima tahunan jam’iyah (chonological formula) serta terhindar dari pemubaziran biaya yang tidak sedikit harus dibelanjakan.
Dengan gerakan yang terus menerus hanya berkutat pada dakwah “mimbar peribadatan” serta intensifikasi dan ekstensifikasi perusahaan yang secara ufimistik lazim disebut dengan amal usaha, maka Muhammadiyah, pada lintasan dinamika nasional, regional maupun global, akan hanya dikenali sebagai gerakan tradisionalis keagamaan di satu pihak dan gerakan pro-kemapanan di lain pihak.
Bukan hanya demikian, malahan Muhammadiyah akan rawan menjadi agent bagi institusionalisasi Islam konservatif yang berorientasi pada kebanggaan pemahaman Islam minimalis sebagai kebalikan dari orientasi Islam maksimalis (kāffah). Selanjutnya, proses internalisasi Islam sebagai agama (al-Din) cenderung elitis dan herarkis karena diserahkan hanya pada kelompok elit yang terhimpun dalam ketarjihan (clerical authority) yang diklaim sebagai ruh gerakan (harakahjam’iyyah).
Hegemoni kelompok klerikal dalam Muhammadiyah ini jika tanpa tinjauan kritis dapat menyebabkan Muhammadiyah menjelma menjadi wahana proses mazhabisasi yang berujung hanya pada polaritas Hijaz (Hijaziyyah), Kuffah (Kuffiyyah), dan ‘Arabiyyah (Arabisme atau Arab centris).
Tanpa disadari pula oleh sementara kita, bahwa keadaan seperti itu berarti suatu stadium di mana hegemoni Arabisme yang sejak semula menyusup pada pola pernyataan “konon” atau qiyl,athar, khabar, hadith sampai al-Qur’an sekalipun telah bercampur-aduk secara mapan menjadi unsur-unsur tak terpisahkan dari keseluruhan mafāhim ushūliyyah dan furūiyyah kita.
Sementara itu,trend kemapanan dalam pola pemahaman keislaman (tafaqquh fīddīn) dan pengamalan maupun penerapan (tathbīq) kita selama ini ditunjukkan dengan minimnya otokritik yang menjelma dalam pola taqlid warga Muhammadiyah atas produk ketarjihan sebagaimana selama ini terus berlangsung.
Kenyataan ini merupakan realitas paradoks jika dihadapkan dengan bagaimana warga Muhammadiyah ini menentang taqlid buta semenjak awal. Karena menguatnya trend konservatisme dan otoritas Majlis Tarjih secara taken for granted, untuk sebagian, tidak sedikit kasus sosio-kultural, atas nama jam’iyyah dan jama’ah, dihentikan pembahasannya tanpa kejelasan hukum (mawqūf) “tanpa” mempertimbangkan demikian rupa bahwa masalah itu terus berlangsung dalam kehidupan praktis.. Minimnya produk kajian masalah socio-politico faktualita (bahtsu’l masāil furū’iyyah) menunjukkan kecenderungan tersebut di atas.
Oleh karena itu, sebagaimana sebagian warga Muhammadiyin yang galau dan gelisah, penulis sendiri berharap kiranya putusan yang akan dicapai dalam muktamar ini nanti cukup monumental, fundamental, maksimal, dan “progresif”sehingga klaim sebagai pemangku kepentingan Muslim modernis vis-a-vis Muslim tradisionalis, bukan hanya sinyalemen.
Lebih dari sekedar memilih ketua dan anggota Pimpinan Pusat, apalagi pemilihinan yang hanya didasarkan atas popularitas parsial artificial (hanya siapa yang sering hadir di kantor, ceramah, muncul di mass media, memberi sumbangan, dan sebagainya), jika ritual lima tahunan ini juga sempat mendekonstruksi kedua isyu tersebut dan memilih ketua/anggota Pimpinan Pusat yang memiliki kapasitas dalam rangka pembaruan, revitalisasi gerakan, figure Muslim inklusif, kiranya beberapa putusan penting pun betul-betul akan menjadi tiang pancang bagi revitalisasi dan dinamisasi gerakan Muhammadiyah ke depan di mulai dari revisi atas visi, misi, substansi serta alokasi-alokasi gerakan termasuk alokasi politik maupun politik alokatif dalam gerakan yang selama ini tidak dirancang atau dikoordinasikan kalau bukan paling diabaikan.
Kita juga perlu menimbang kembali esensi usaha/gerakan pemesjidan atau santrinisasi umat yang selama ini seolah-olah telah menjadi orientasi pokok dan trademark harakah kita. Katakanlah memang orientasi pokok itu, meskipun pula hanya orientasi antara, maka gerakan pemesjidan harus dengan didasarkan atas strategi budaya yang tajam disertai dengan orientasi politik yang jega jelas.
Meskipun demikian, tulisan ini hanya akan sedikit membuka kembali catatan tentang intensi atau (mungkin) “nawaitu” politik Muhammadiyah dalam lintasan peristiwa sebagai historical milestone untuk kemudian mencari arah baru intensi politik tersebut.
SYAFRUDIN BUDIMAN, SIP : Demonstran dari Keluarga Politisi Muhammadiyah
Syafrudin Budiman, SIP. Anak muda ini di kalangan Muhammadiyah Jawa Timur memang dikenal berbakat dalam dunia politik. Sejak aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya tahun 2002 .
Ia terkenal sebagai aktifis IMM yang pernah ditangkap oleh Polres Surabaya Utara karena terlibat demo memperjuangkan nasib buruh. Ia juga terkenal dengan wacana-aksi politik dari isu
kampus sampai politik nasional.
Selanjutya ia sempat mau berhenti dari dunia aktifis (demonstran) dan aktif di bidang jurnalis, tepatnya bekerja di Surabaya News (sekarang Surabaya Post) selama 7 Bulan. Namun, karena terpilih dan dapat amanah sebagai formatur terbanyak dalam Muscab IMM Surabaya.
Padahal dirinya tidak pernah mendaftar sebagai calon formatur. Namun seniornyalah yang memasukkan namanya karena memang berbakat dalam dunia politik.
Pria kelahiran Sumenep 21 Mei 1980 ini akhirnya aktif kembali dan terpilih jadi Ketua Hikmah (Bidang Politik dan Sosial Kemasyarakatan) IMM Surabaya dan berlanjut ke DPD IMM Jawa Timur sebagai Ketua Bidang Hikmah. Rudi Acong, begitu koleganya memanggilnya namanya, akhirnya memilih lebih fokus di IMM dan meninggalkan dunia jurnalistik.
Pada Muktamar IMM ke XII 2006 di Ambon ia menjadi Ketua Presedium Sidang dan dipercaya sebagai Pengurus Pusat IMM masa bakti 2006-2008. Bahkan dirinya sempat bergabung ke PAN Jawa Timur karena keterkaitan dengan Muhammadiyah. Ketika ditanya kenapa mundur dari PAN? Ia menjawab, "Saya ini kader IMM, kalau IMM dan AMM bikin partai, kenapa saya tidak bergabung.
Wong ini rumah saya sendiri yang baru. Rumah lama saya sudah di jual dan berpindah tangan," ujar lulusan Sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Nama dan Tampangnya sering menghiasi media cetak dan elektronik ketika menjadi aktifis. wacana dan statemenya sering masuk di media-media lokal, nasional dan bahkan internasional.
Bahkan pernah ia kena semprit karena mengundang (alm) Munir ke Surabaya dan soal statemenya di media LKBN Antara yang menyatakan Muhammadiyah Jawa Timur tidak ada masalah, jika partai baru lahir dari AMM.
Lahir dari keluarga Tokoh Muhammadiyah.
Semua orang tidak ragu lagi ketika Syafrudin Budiman dipercaya sebagai Sekretaris Inisiator Partai Matahari Bangsa (PMB) Jatim dan Sekretaris Pimpinan Wilayah PMB Jatim. Selain memang berbakat dalam dunia politik, dirinya juga lahir dari kalangan keluarga Politisi Muhammadiyah.
Syafrudin adalah cicit dari (Alm) KH.Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah jaman kemerdekaan, yang juga Inspirator berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MAIA) yang bermetafosa menjadi MASYUMI.
Kakenya (Alm) Ust. H. Abd.Kadir Muhammad adalah Dai mantan Ketua PD Muhammadiyah Sumenep-Madura yang juga anggota DPRD Sumenep dari MASYUMI. Bahkan Bapaknya Ust. Zainudddin pernah menjadi Ketua PCM Sumenep/Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Sedangkan Mardiyah Ibunya adalah mantan Ketua Umum PD Nasyiatul Aisyiah Sumenep (1992-1997). Kedunya sama-sama aktifis PII dan KAPPI/KAMMI tahun 66-67 dan sempat aktif di GPI underbow MASYUMI.
"Saya memang lahir dari keluarga politisi dan keluarga struktur Muhammadiyah, Malah yang mendorong saya bergabung ke PMB adalah keluarga. Ketika kami kedatangan Ketua Umum PMB di Sumenep Madura, yang menyambut hangat Mas Imam Addaruqutni adalah keluarga besar Abdul Kadir Muhammad," papar Koordinator Biro Politik DPD KNPI
Jawa Timur ini. (tim)