Kamis, 17 Juli 2008

PEMUTAHIRAN INTENSI POLITIK MUHAMMADIYAH

oleh GUS DAR (H. IMAM ADDARUQUTNI,MA)

Tulisan ini pernah dimuat dalam buku menyambut Muktamar 45 Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEAD) Jakarta , 2005. Saya sajikan lagi ke ruang pembaca karena substansi pikiran dalam tulisan ini kemudian benar-benar mewujud dalam Partai Matahari Bangsa yang dibangun oleh para aktivis muda Muhammadiyah.

Dua alasan yang mendasari tulisan ini―pertama, harapan kuat akan lahirnya putusan-putusan penting, krusial, dan strategis yang akan memberi arahan bagi gerakan pembaruan dan pembaruan gerakan atas nama para pemangku kepentingan (stakeholders) Muslim modernis Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan lebih khusus lagi angkatan muda sebagai segmen mayoritas yang bakal menghadapi tantangan yang bercorak realis-pragmatis, dan, kedua, semangat perubahan dari kondisi konstelasi sosio-kultural, ekonomi, dan politik nasional yang otoritarian dan membelenggu sampai menjelang dan awal abad 21 ke arah demokratisme (orientasi kerakyatan) serta pengaruh arus globalisasi termasuk globalisasi demokrasi sebagai dasar hidup bersama (common platform) yang akan menentukan arah perkembangan pola kehidupan masyarakat baru dunia di satu pihak, dan, di pihak lain, radikalisasi neoliberalisme yang membonceng proses public policy yang juga akan (memaksa) merasuk ke dalam semua strata kehidupan kita secara nasional.


Karena kondisi real ini, maka Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang berlangsung pada 3-8 Juli 2005 di Jawa Timur ini, kiranya akan menjadi tiang pancang bagi pemutakhiran muhammadiyah itu sendiri. Pemutakhiran itu seyogyanya menyangkut “jati diri” Muhammadiyah yang sering disebut sebagai kelompok Islam revivalis, reformis, dan juga modernissebagai gerakan organisatoris keagamaan (harakahjam’iyyah) maupun sebagai gerakan sosial-komunal (harakah jamâ’ah). Pemutakhiran jam’iyyah dalam dakwah keagamaan amr ma’ruf nahy munkar menyangkut spektrum sempit: tawhid dan fiqh peribadatan, sedangkan spectrum luasnya menyangkut pembumian (secularization) serta pribumisasi/lokalisasi (indigenouzation and localization) dalam kerangka kehidupan pluralisme-keberbangsaan Indonesia (syu’ubiyyah-qaba’iliyyah-Indonesiyyah).


Pemutakhiran pada level harakah jam’iyyah dapat dimulai dengan proses dekonstruksi-rekonstruksi atas segenap konsepsi-konsepsi dasar keagamaan (mafâhim ushūliyyah) Muhammadiyah (baca: warga Muhammadiyah) selama ini serta konsepsi-konsepsi aplikatif syar’iyyah (mafâhim furū’iyyah tathbīqiyyah) yang menyangkut ibadah dan mu’amalah (Taimiyyahisme). Dalam aspek ini, pola hubungan dialektis, sebab-akibat (syarth-masyrūt) antara proyeksi social-kultural-politis dengan konstruk teologis harusnya bersesuaian secara matriks dan simetris.


Karena itu, usaha menimbang kembali secara kritis konstruk pemikiran (faham) teologis Muhammadiyah berikut implikasi-implikasinya diperlukan. Misalnya, perlukah Muhammadiyah membakukan konsepsi teologis tertentu sehingga dengan demikian Muhammadiyah dapat disebut penganut “aliran” teologis, atau, tanpa “aliran” itu tidak bisa disebut Muhammadiyah atau sebaliknya. Demikian seterusnya sampai pada tingkat praktis (‘amaliyyah).


Sedangkan pemutakhiran pada level harakah jama’ah dapat dimulai dengan upaya pembangunan kembali ideal-ideal Muhammadiyah pada tataran sosial yang diikatkan pada, satu pihak, historisitas socio-cultural and socio-political setting, dan di lain pihak, proyeksi-proyeksi terbarukan bidang socio-cultural and socio-political achievements, semacam imagined community dengan peran optimal Muhammadiyah di dalamnya.


Kiranya perlu kita timbang juga apakah ada gap antara konstruk teologis mafāhim ushūliyyah dengan proyeksi-proyeksi socio-politico-cultural tersebut dalam rangka mafâhim furū’iyyah tathbīqiyyah. Jadi, pada setiap aspek sosio-kultural dan politik selalu memiliki tiga aspek “sebelum, sedang, dan sesudah” (pre, progress, and post) sejalan dengan ideal Islam paripurna (Islam kāffah).


Kita tidak menginginkan Muhammadiyah dirancang dan diarahkan menjadi semacam pola hidup paguyuban yang dikendalikan oleh kekuatan sekelompok oligarkis apalagi oleh hegemoni kharismatik an sich sebagaimana terdapat dalam tribal clans (klan-klan kesukuan) yang memasung kritisisme di satu pihak dan stagnasi (jumud) di lain pihak secara bersamaan. Jika ini terjadi, jelas ini sebuah malapetaka besar atas klaim kaum pembaharu ini.


Sebelum krisis identitas ini melahirkan jumud dan taqlid lebih parah lagi, maka sekaranglah saatnya bersikap tegas untuk menghentikannya. Pada hemat penulis, alasan inilah maka kita hadir di tengah pluralitas bangsa ini serta, dalam batas tertentu, demi eko-sistem pluralitas pulalah misi dakwah dijalankan, sejalan dengan risalah Islamiyah, bukan untuk menghancurkan melainkan penyelamatan (taslīm), mengutamakan tebar kedamaian (ufsussalāma bayna kum) hingga terbuktikan bahwa Islam benar-benar merupakan wujud kasih sayang Allah pada manusia dan alam serta kasih sayang kita (baca: umat Islam) pada sesama (rahmatan li’l ‘alamin) yang pada akhirnya konsepsi “al-Islam ya’lu wa lâ yu’la ‘alayh tidak disalah pahami, baik oleh sesama kita maupun orang yang berbeda—Muslim maupun non-Muslim, sebagai kekuatan Islam yang culas melainkan Islam sebagai agama adhi luhung yang toleran (tasāmuh).


Bukankah ijtihad juga kita akui sebagai kekuatan sekaligus metodologi di mana akal logis dan rasional mendapat tempat khusus di sini sehingga mafāhim furū’iyyah dimungkinkan terus berkembang ke arah spesifik (juz’iyyah), lokalistik (mahalliyyah), mendisini/indigenous (makāniyyah), dan unggul (imtiyāziyyah). Dengan demikian, kita dapat bebas dari perangkap yang menjerumuskan kita ke dalam gejala formalisme ritual lima tahunan jam’iyah (chonological formula) serta terhindar dari pemubaziran biaya yang tidak sedikit harus dibelanjakan.


Dengan gerakan yang terus menerus hanya berkutat pada dakwah “mimbar peribadatan” serta intensifikasi dan ekstensifikasi perusahaan yang secara ufimistik lazim disebut dengan amal usaha, maka Muhammadiyah, pada lintasan dinamika nasional, regional maupun global, akan hanya dikenali sebagai gerakan tradisionalis keagamaan di satu pihak dan gerakan pro-kemapanan di lain pihak.


Bukan hanya demikian, malahan Muhammadiyah akan rawan menjadi agent bagi institusionalisasi Islam konservatif yang berorientasi pada kebanggaan pemahaman Islam minimalis sebagai kebalikan dari orientasi Islam maksimalis (kāffah). Selanjutnya, proses internalisasi Islam sebagai agama (al-Din) cenderung elitis dan herarkis karena diserahkan hanya pada kelompok elit yang terhimpun dalam ketarjihan (clerical authority) yang diklaim sebagai ruh gerakan (harakahjam’iyyah).


Hegemoni kelompok klerikal dalam Muhammadiyah ini jika tanpa tinjauan kritis dapat menyebabkan Muhammadiyah menjelma menjadi wahana proses mazhabisasi yang berujung hanya pada polaritas Hijaz (Hijaziyyah), Kuffah (Kuffiyyah), dan ‘Arabiyyah (Arabisme atau Arab centris).


Tanpa disadari pula oleh sementara kita, bahwa keadaan seperti itu berarti suatu stadium di mana hegemoni Arabisme yang sejak semula menyusup pada pola pernyataan “konon” atau qiyl,athar, khabar, hadith sampai al-Qur’an sekalipun telah bercampur-aduk secara mapan menjadi unsur-unsur tak terpisahkan dari keseluruhan mafāhim ushūliyyah dan furūiyyah kita.


Sementara itu,trend kemapanan dalam pola pemahaman keislaman (tafaqquh fīddīn) dan pengamalan maupun penerapan (tathbīq) kita selama ini ditunjukkan dengan minimnya otokritik yang menjelma dalam pola taqlid warga Muhammadiyah atas produk ketarjihan sebagaimana selama ini terus berlangsung.


Kenyataan ini merupakan realitas paradoks jika dihadapkan dengan bagaimana warga Muhammadiyah ini menentang taqlid buta semenjak awal. Karena menguatnya trend konservatisme dan otoritas Majlis Tarjih secara taken for granted, untuk sebagian, tidak sedikit kasus sosio-kultural, atas nama jam’iyyah dan jama’ah, dihentikan pembahasannya tanpa kejelasan hukum (mawqūf) “tanpa” mempertimbangkan demikian rupa bahwa masalah itu terus berlangsung dalam kehidupan praktis.. Minimnya produk kajian masalah socio-politico faktualita (bahtsu’l masāil furū’iyyah) menunjukkan kecenderungan tersebut di atas.



Oleh karena itu, sebagaimana sebagian warga Muhammadiyin yang galau dan gelisah, penulis sendiri berharap kiranya putusan yang akan dicapai dalam muktamar ini nanti cukup monumental, fundamental, maksimal, dan “progresif”sehingga klaim sebagai pemangku kepentingan Muslim modernis vis-a-vis Muslim tradisionalis, bukan hanya sinyalemen.

Lebih dari sekedar memilih ketua dan anggota Pimpinan Pusat, apalagi pemilihinan yang hanya didasarkan atas popularitas parsial artificial (hanya siapa yang sering hadir di kantor, ceramah, muncul di mass media, memberi sumbangan, dan sebagainya), jika ritual lima tahunan ini juga sempat mendekonstruksi kedua isyu tersebut dan memilih ketua/anggota Pimpinan Pusat yang memiliki kapasitas dalam rangka pembaruan, revitalisasi gerakan, figure Muslim inklusif, kiranya beberapa putusan penting pun betul-betul akan menjadi tiang pancang bagi revitalisasi dan dinamisasi gerakan Muhammadiyah ke depan di mulai dari revisi atas visi, misi, substansi serta alokasi-alokasi gerakan termasuk alokasi politik maupun politik alokatif dalam gerakan yang selama ini tidak dirancang atau dikoordinasikan kalau bukan paling diabaikan.



Kita juga perlu menimbang kembali esensi usaha/gerakan pemesjidan atau santrinisasi umat yang selama ini seolah-olah telah menjadi orientasi pokok dan trademark harakah kita. Katakanlah memang orientasi pokok itu, meskipun pula hanya orientasi antara, maka gerakan pemesjidan harus dengan didasarkan atas strategi budaya yang tajam disertai dengan orientasi politik yang jega jelas.


Meskipun demikian, tulisan ini hanya akan sedikit membuka kembali catatan tentang intensi atau (mungkin) “nawaitu” politik Muhammadiyah dalam lintasan peristiwa sebagai historical milestone untuk kemudian mencari arah baru intensi politik tersebut.

Tidak ada komentar: