Rabu, 30 Juli 2008

Parpol Besar Ganjal Capres Alternatif

Oleh Slamet Hariyanto

Proses politik pembahasan revisi UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres diwarnai ambisi parpol besar untuk mempersempit peluang capres alternatif. Gejala itu ditunjukkan PG dan PDIP melalui fraksinya di DPR.


PG dan PDIP menginginkan parpol pengusung pasangan capres 2009 disyaratkan memiliki minimal 30 persen perolehan suara pemilu legislatif. Bila angka ini berhasil disepakati dalam UU Pilpres, maka hanya dua pasang capres yang punya peluang bertarung di Pilpres 2009.

Berdasarkan realitas pemilu legislatif 2004, PG memperoleh 21 persen suara. PDIP dapat meraup 19 persen suara. Jika persyaratan 30 persen suara hasil pemilu legislatif 2009 dijadikan patokan mengusung pasangan capres, maka peluang terbesar dimiliki PG dan PDIP.


Modal politik yang dimiliki PG dan PDIP sangat potensial untuk mencari tambahan dukungan dari parpol lain. Keberadaan parpol lainnya terpaksa harus berkoalisi dengan salah satu parpol besar yakni PG atau PDIP.


Memang, masih ada peluang koalisi lain berupa bergabungnya parpol-parpol kecil dan menengah untuk mengusung pasangan capres sendiri. Mereka bisa melakukan itu asalkan memiliki jumlah prosentase perolehan suara minimal 30 persen. PG dan PDIP punya potensi politik untuk menghalang-halangi munculnya koalisi ini. Sebab, koalisi parpol kecil dan menengah bakal memberi peluang bagi capres alternatif.


Salah satu manfaat pilpres hanya diikuti 2 pasang adalah ada jaminan bahwa pelaksanaan pilpres hanya berlangsung 1 putaran. Selain biayanya lebih hemat, juga ongkos sosial politiknya lebih rendah. Namun, di sisi lain rakyat memiliki keterbatasan untuk memilih capres alternatif selain figur pasangan capres yang diusung PG bersama koalisinya, dan PDIP bersama parpol pendukungnya.


Saat ini publik sudah dapat gambaran, PDIP pasti mengusung Megawati sebagai capres 2009. Parpol berlambang kepala banteng bermulut putih ini hanya tinggal satu langkah politik untuk menentukan cawapres yang bakal dipasangkan dengan Megawati.


Posisi politik PDIP saat ini sangat diuntungkan karena parpol ini konsisten berada di luar pemerintahan. Tidak ada kader PDIP yang menjadi anggota kabinet pemerintahan SBY-JK. Opini rakyat sudah melekat bahwa PDIP dianggap sebagai partai opisisi.


Secara alamiah, partai oposisi akan sangat diuntungkan apabila kinerja pemerintahan jelek dan mengecewakan rakyat. Selama hampir empat tahun pemerintahan SBY-JK ternyata banyak celah yang bisa disebut mengecewakan rakyat.


Secara teoritik, PDIP sangat diuntungkan dengan kondisi ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan SBY-JK. Sehingga, capres yang diusung PDIP punya peluang untuk dapat simpatik rakyat pemilih.


Persoalannya hanya pada figur capres yang bakal diusung PDIP. Jika PDIP tetap ngotot mengusung capres Megawati, perlu dihitung lebih cermat tentang peluang kemenangannya. Sebab, Megawati termasuk stok lama. Dia pernah menjadi presiden dan kalah dalam Pilpres 2004. Bagaimana pun kekalahan Megawati pada Pilpres 2004 merupakan bukti bahwa rakyat menganggap kinerja pemerintahan Megawati jelek.


Tidak gampang untuk meyakinkan publik bahwa Megawati maju jadi capres 2009 bisa memberikan harapan baru bagi rakyat. Tentunya, PDIP lebih mudah menyusun strategi pemenangan pilpres bila mampu memberikan figur capres baru. Meski pun harus diakui, pembaruan seperti itu tidak mudah dilakukan di internal PDIP.


Realitas hasil Pilpres 2004 memberi pelajaran politik berharga bagi elit politik. Waktu itu sangat kuat munculnya aspirasi rakyat tentang perlunya pemimpin baru di negeri ini. Siapa pun tokoh-tokoh stok lama yang ingin maju dalam Pilpres 2009, hendaknya mewaspadai kondisi politik 2004 bakal terulang pada 2009.


Dengan mempertimbangkan perubahan politik seperti itu, maka ada tiga prediksi peluang kemenangan bagi capres 2009. Pertama, figur SBY-JK masih berpeluang menang. Kondisi politik ini tercipta karena rakyat karena rakyat belum yakin bahwa pemimpin baru belum tentu berhasil membawa pada keadaan yang lebih baik.


Pemikiran ini dilatarbelakangi bahwa meski pun SBY-JK belum dianggap punya kinerja bagus, tapi perlu diberi kesempatan melanjutkan program-programnya yang belum tuntas. Tentunya, SBY-JK masih dipercaya oleh rakyat untuk memimpin lagi benar-benar tidak dikaitkan dengan faktor parpol mana yang mengusung pasangan ini. Meski pun demikian, kondisi politik akan berbeda bilamana pasangan SBY-JK pecah dalam Pilpres 2009.


Kedua, rakyat merindukan mantan pemimpin lama bisa tampil lagi. Kondisi politik seperti ini tumbuh subur bilamana pemerintahan SBY-JK dianggap gagal dan kinerjanya tidak lebih baik dari rezim sebelumnya. Lantas, siapa mantan pemimpin lama yang dimaksud? Tentu figur yang digadang-gadang adalah Gus Dur atau Megawati.


Ketiga, rakyat sudah bosan dengan tokoh lama, baik yang masih menjabat atau yang sudah mantan. Kondisi politik seperti ini yang mendorong tampilnya capres alternatif selain SBY, Gus Dur, Megawati, dan Jusuf Kalla. Persoalannya adalah sampai seberapa kuat capres alternatif bisa mendapat dukungan kendaraan politik dari parpol.


Jika capres alternatif mampu mengumpulkan dukungan banyak parpol kecil sehingga mencapai jumlah minimal 30 persen perolehan suara legislatif, maka peluang munculnya capres alternatif tidak boleh dianggap remeh. Dari pengalaman di beberapa pilkada, ternyata dominasi parpol besar (PG, PDIP, PD) mulai rontok. Calon kepala daerah dari parpol besar justru dikalahkan jago dari gabungan parpol kecil.


dari www.slamethariyanto.wordpress.com

Tidak ada komentar: