Rabu, 11 Mar 2009
http://antarajatim.com/index.php?ref=disp&id=8762
Surabaya - Sekretaris PW Partai Matahari Bangsa (PMB) Jawa Timur, Syafrudin Budiman mengemukakan, kepentingan masyarakat Tionghoa jangan hanya dititipkan ke pantai-partai politik, tapi harus diperjuangkan sendiri.
"Kalau hanya dititipkan ke partai politik, takutnya 'paket' yang dititipkan itu tidak sampai ke tujuan. 'Paket' itu harus diantar sendiri," katanya pada diskusi "Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia" di Surabaya, Rabu malam.
Ia juga mengingatkan agar komunitas Tionghoa menghilangkan kesan elitisnya. Menurut dia, sudah saatnya komunitas Tionghoa masuk ke basis-basis masyarakat paling bawah sehingga mengetahui betul apa keinginan masyarakat tersebut.
"Saya istilahkan dengan membasis. Dengan membasis, maka akan ada sambungan antara kepentingan atas atau elit dengan kepentingan masyarakat bawah. Apalagi, komunitas Tionghoa itu kan ada juga yang secara ekonomi hidupnya kurang baik," kata mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu.
Sementara itu tokoh pergerakan Tionghoa, Tan Swie Ling mengemukakan, komunitas Tionghoa memang harus berpolitik. Hanya saja, kata dia, yang menjadi pertanyaan adalah, politik yang bagaimana?
"Jangan sampai komunitas Tionghoa itu seperti laron yang menabrak nyala api. Nanti menjadi hangus. Komunitas Tionghoa harus tahu petanya. Poisisi dan kondisi politik komunitas Tionghoa itu sangat lemah sejak dulu," katanya.
Ia mengaku gembira karena sudah banyak generasi muda dari komunitas Tionghoa yang mulai terjun ke politik. Namun ia mengingatkan agar keterlibatan mereka itu harus memiliki landasan yang jelas dan kuat.
Diskusi yang digelar Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu itu juga menghadirkan analis ekonomi moneter, Liem Siok Lan dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Dhimam Abror Djuraid.
Jumat, 13 Maret 2009
Liem Siok Lan, Awasi Janji Caleg
Jumat, 13 Maret 2009
SURABAYA | SURYA -Janji-janji politik para caleg dalam kampanye harus dicermati dengan teliti, karena bukan tidak mungkin janji tidak bakal terlaksana, karena sistem yang tidak memungkinkan.
Hal ini disampaikan Ir Liem Siok Lan MSc PhD dalam diskusi Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia yang diprakarsai Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu di Hotel Veni Vidi Vici Surabaya, Rabu (12/3) malam.
Liem mengatakan janji-janji caleg itu ditebar lewat berbagai media seperti stiker, poster, baliho dan spanduk, serta disampaikan dalam acara sosialisasi. “Janji itu ibaratnya seperti memberi cek kosong karena tidak ada dasarnya dan tidak mungkin mereka laksanakan,” tegas Liem di hadapan ratusan warga Tionghoa Surabaya.
Selain Liem, diskusi itu juga menampilkan Dhimam Abror Djuraid, (ketua PWI Jatim), Tan Sie Ling (tokoh pergerakan Tionghoa) dan Syafrudin Budiman (aktivis-intelektual muda). Menurut Liem, yang alumnus teknik informatika ITB itu, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer, sehingga inisiatif kebijakan selalu muncul dari eksekutif. Hak inisiatif yang sebenarnya melekat di legislative malah jarang digunakan.
“Kalau sistem pemerintahannya parlementer, caleg bisa membuat program dan setelah terpilih bisa melaksanakannya,” kata perempuan kelahiran Blitar, 8 November 1962 itu yang lama bermukim di Montreal Kanada itu.
Aktivis Tionghoa yang sekaligus ketua panitia, Hendy Prayogo, mengatakan, saat ini banyak elite Tionghoa yang aktif dalam politik. Kata Hendy, perkembangan ini merupakan lompatan besar yang harus disyukuri dan menjadi kesadaran baru bagi warga Tionghoa. “Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dan Suku Tionghoa merupakan salah satu bagian integral yang ada di dalamnya,” tegas Hendy.
Hendy menambahkan, etnis Tionghoa sangat heterogen baik budaya maupun pilihan politiknya. Karena itu, pilihan politik dalam pemilu akan selalu berdasarkan pemahaman dan keyakinan pribadi masing-masing. “Siapa pun tidak boleh mengaitkan perilaku politik pribadi dengan suatu organisasi apalagi mengatas namakan seluruh Suku Tionghoa,” tegasnya mengingatkan.jos
http://www.surya.co.id/2009/03/13/liem-siok-lan-awasi-janji-caleg/
SURABAYA | SURYA -Janji-janji politik para caleg dalam kampanye harus dicermati dengan teliti, karena bukan tidak mungkin janji tidak bakal terlaksana, karena sistem yang tidak memungkinkan.
Hal ini disampaikan Ir Liem Siok Lan MSc PhD dalam diskusi Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia yang diprakarsai Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu di Hotel Veni Vidi Vici Surabaya, Rabu (12/3) malam.
Liem mengatakan janji-janji caleg itu ditebar lewat berbagai media seperti stiker, poster, baliho dan spanduk, serta disampaikan dalam acara sosialisasi. “Janji itu ibaratnya seperti memberi cek kosong karena tidak ada dasarnya dan tidak mungkin mereka laksanakan,” tegas Liem di hadapan ratusan warga Tionghoa Surabaya.
Selain Liem, diskusi itu juga menampilkan Dhimam Abror Djuraid, (ketua PWI Jatim), Tan Sie Ling (tokoh pergerakan Tionghoa) dan Syafrudin Budiman (aktivis-intelektual muda). Menurut Liem, yang alumnus teknik informatika ITB itu, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer, sehingga inisiatif kebijakan selalu muncul dari eksekutif. Hak inisiatif yang sebenarnya melekat di legislative malah jarang digunakan.
“Kalau sistem pemerintahannya parlementer, caleg bisa membuat program dan setelah terpilih bisa melaksanakannya,” kata perempuan kelahiran Blitar, 8 November 1962 itu yang lama bermukim di Montreal Kanada itu.
Aktivis Tionghoa yang sekaligus ketua panitia, Hendy Prayogo, mengatakan, saat ini banyak elite Tionghoa yang aktif dalam politik. Kata Hendy, perkembangan ini merupakan lompatan besar yang harus disyukuri dan menjadi kesadaran baru bagi warga Tionghoa. “Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dan Suku Tionghoa merupakan salah satu bagian integral yang ada di dalamnya,” tegas Hendy.
Hendy menambahkan, etnis Tionghoa sangat heterogen baik budaya maupun pilihan politiknya. Karena itu, pilihan politik dalam pemilu akan selalu berdasarkan pemahaman dan keyakinan pribadi masing-masing. “Siapa pun tidak boleh mengaitkan perilaku politik pribadi dengan suatu organisasi apalagi mengatas namakan seluruh Suku Tionghoa,” tegasnya mengingatkan.jos
http://www.surya.co.id/2009/03/13/liem-siok-lan-awasi-janji-caleg/
Rekam Jejak Politik Etnis Tionghoa
Kamis, 12 Maret 2009
Oleh: Alex M, Masita, Widi S
LIEM Koen Hian, nasionalis keturunan China, menatap nanar hadirin yang menghadiri ceramah umumnya di Surabaya, 23 Agustus 1932. la hendak sampai pada penghujung pidato, dan setelah jeda sejenak menahan napas, keluarlah suara lantangnya, ”Saja berkejakinan, dalam tempo jang tidak terlaloe lama, tentoe lahir boergerschap ataoe kerakjatan Indonesia, toeroet mana tidak sadja orang Indonesier asli yang dinamakan Indonesier, tetapi djoega peranakan Tionghoa...”
Sontak, pidatonya yang menggelegar itu disambut gemuruh tepuk tangan hadirin. Bagi Liem, peranakan Tionghoa yang lahir di Banjarmasin dan bekerja sebagai jurnalis itu, tak terelakkan bila orang Tionghoa bakal terlibat dalam perjuangan politik mewujudkan kemerdekaan Indonesia, suka atau tidak suka. Karena, pemisahan status sosial sebagai lapis kedua di atas kaum pribumi dan di bawah orang Belanda, toh hanya mengasingkan orang Tionghoa. Kenyataannya, menurut Liem, orang Tionghoa selalu mendapat perlakuan kasar dari pejabat pabean Belanda.
Sesudah Liem Koen Hian turun dari podium, dr Soetomo tampil meneruskan orasi ke publik. Tokoh pergerakan nasional itu mendukung gagasan Liem tentang Indonesierschap atau kewarganegaraan Indonesia. Dukungan berlanjut ketika sebulan kemudian, 25 September 1932, Liem Koen Hian, Kwee Thiam Thing, Ong Liang Kok, dan rekan-rekannya kaum Cina peranakan di Surabaya, mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Tercatat di Harian Sin Tit Po sehari sesudahnya, dr Soetomo dan kaum nasionalis Indonesia moderat menyokong lahirnya PTI dan bersedia untuk melakukan kerja sama.
Itulah nukilan sejarah keterlibatan etnis Tionghoa pra kemerdekaan yang dicatat Bimo Nugroho, direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, mengutip pakar studi etnis Tionghoa Prof Dr Leo Suryadinata.
Ya. Perjuangan Indonesia memang tak luput dari keterlibatan pemikiran politis etnis Tionghoa. Namun, setelah Indonesia merdeka, kemerdekaan berpolitik etnis Tionghoa tak tersalurkan dengan baik. Selama Orde Baru, hak politik etnis Tionghoa dipasung. Keterbukaan keran politik etnis Tionghoa baru terjadi pasca era reformasi 1997-1998.
Dalam diskusi ‘Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia’ di hotel V3 Surabaya tadi malam (12/3) terungkap bahwa euforia politik itu sekarang mulai marak lagi di kalangan warga Tionghoa.
Tampil dalam diskusi itu Tan Swie Ling, tokoh pergerakan Tionghoa, Liem Siok Lan alias Justiani seorang analis moneter internasional, Syafruddin Budiman aktivis muda Islam dan Dhimam Abror Djuraid, pemred Surabaya Post.
Tan mengingatkan agar dalam euforia sekarang warga Tionghoa berhati-hati dan jangan terlena, sehingga melupakan sejarah. Ia lebih setuju warga Tionghoa menempuh jalur politik non-formal dengan memberi penyadaran kepada masyarakat mengenai berbagai persoalan kebangsaan. ‘’Tapi, kalau mau berpolitik praktis silakan,’’ kata Tan.
Sedangkan Justiani memberi gambaran bahwa kondisi politik saat ini tetap harus diwaspadai oleh kaum Tionghoa. ‘’Kalau kita salah pilih bisa-bisa jadi korban lagi,’’ katanya.
Ia mengingatkan perlunya ada jalan baru untuk memilih pemimpin nasional yang mengutamakan rakyat. Ia menyebutnya sebagai jalan budaya. Antara lain dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat, sehingga muncul kekuatan baru yang menjadi pendorong perubahan total dan mendasar.
Sedang Syafruddin mengingatkan agar warga Tionghoa mengambil peran aktif dalam seluruh kiprah kehidupan masyarakat. ‘’Jangan sibuk di kegiatan ekonomi saja.’’
Dhimam Abror mengatakan, warga Tionghoa justru secara tidak sadar ikut melanggengkan stereotipe yang dikembangkan Orde Baru. ‘’Kalau masuk ke organisasi, warga Tionghoa memilih jadi bendahara, tidak ada yang berani menjadi ketua,’’ katanya.
* * *
Di pentas nasional nama Alvin Lie Lee Peng atau yang populer dengan nama Alvin Lee sudah tidak asing lagi dengan masyarakat Indonesia. Pria kelahiran Jateng ini sudah menjadi ikon atas partisipasi masuknya warga etnis Tionghoa di panggung politik pasca reformasi.
Alvin termasuk salah seorang politisi Tionghoa yang ikut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Tak heran, jika pada pemilu 1999, Alvin menjadi caleg dan terpilih menjadi anggota parlemen selama dua periode hingga era reformasi.
Kiprah Alvin di parlemen pun terhitung bagus. Politisi yang dijuluki cowboy Senayan ini tercatat sebagai salah seorang politisi muda yang vokal di parlemen.
Kiprah politisi Tionghoa bukan hanya di parlemen. Di pemerintahan, etnis Tionghoa pernah menjadi pejabat. Sebut saja Kwik Kian Gie yang pernah pejabat di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), etnis Tionghoa juga diberi tempat sebagai pejabat di pemerintah, seperti Mari Elka Pangestu yang kini menjadi Menteri Perdagangan.
Di pemerintahan tingkat lokal, beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menjadi bupati. Basuki Tjahaja Purnama juga terpilih sebagai Bupati Bangka. Setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Angin perubahan dalam sistem politik Indonesia benar-benar dimanfaatkan politisi Tionghoa. Pada Pemilu 2009, sekitar 100 calon anggota legislatif tingkat DPR RI berasal dari etnis Tionghoa. Belum lagi caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam daftar caleg DPR RI, misalnya, selain nama Alvin Lee (PAN Jateng), ada Rudianto Tjen (PDI Perjuangan, Bangka), Charles Honoris (PAN Dapil Jatim I), L. Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur).
Politisi Tionghoa yang menjabat Wakil Sekjen DPP PKB Daniel Johan berpendapat, Pemilu 2009 merupakan momen bangkitnya warga keturunan dalam berpolitik praktis. “Pada Pemilu 2009 ini, ada sekitar 100 caleg tingkat DPR RI yang merupakan etnis Tinghoa,” ujarnya.
Mengenai minimnya etnis Tionghoa yang berkiprah dalam bidang politik, kata Daniel, hal itu tidak terlepas dari trauma zaman Orde Baru. “Tidak mudah bagi kami untuk bisa langsung menekuni politik sebelum benar-benar memiliki kesiapan mental,” katanya.
Hal senada diungkapkan Kwik Kian Gie, menurut dia, sejak dibukanya keran reformasi 1998 lalu, hanya warga etnis Tinghoa yang benar-benar memiliki keberanianlah yang mampu tampil dalam dunia politik praktis. Namun, ia yakin seiring dengan membaiknya iklim demokrasi di Indonesia saat ini, kiprah etnis Tionghoa dalam bidang politik akan semakin tinggi. “Semuanya butuh proses. Saya kira, sekarang ini tinggal menunggu waktu saja,” ujarnya.
Meski banyak politisi Tionghoa yang tampil akhir-akhir ini, Alvin Lie menyebutnya sebagai satu titik awal. “Saya kira, kesadaran politik etnis Tionghoa baru mulai tumbuh. Saya melihat pada Pemilu 2009 makin banyak warga keturunan Tionghoa yang aktif di partai, baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional,” ujarnya.
Caleg DPR RI dari Bangka, Rudianto Tjen, mengatakan, banyaknya etnis Tionghoa yang berpolitik praktis sebagai pertanda alam demokrasi Indonesia sudah membaik. Artinya, tidak ada lagi perbedaan berdasarkan suku dan ras. Bangkitnya kesadaran politik kaum Tionghoa tak terlepas dari penyembuhan trauma masa lalu.
Diarahkan Bisnis
Salah satu caleg Tionghoa yang aktif kampanye adalah Charles Honoris. Ditemui di CH Center di kawasan Basuki Rahmat, caleg DPR RI asal PAN, itu mengatakan, selama Orde Baru lalu, komunitas ini diarahkan berbisnis saja. Hal ini menciptakan diskriminasi terhadap komunitas ini. Stigma ini begitu melekat kuat di masyarakat sehingga komunitas ini akhirnya menjadi apolitik dan apatis.
‘’Akibat kuatnya tekanan di masa pemerintahan yang lama memunculkan pandangan bagi kalau politik itu tabu dan kotor bagi komunitas kita. Semestinya kita tidak mengotak-kotakkan diri seperti itu,’’ tandasnya.
Melihat kondisi itu, dia lalu tertarik mempelajari politik meski selama ini dia menekuni dunia hukum. Dia membawa satu misi. ‘’Komunitas Tionghoa adalah salah satu elemen bangsa. Sudah saatnya tidak lagi dikotakkan berperan di ekonomi saja,’’ paparnya.
Ketua Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu, Hendi Prayogo, mengatakan, meski banyak caleg dari komunitas Tionghoa, tetap tidak bisa mengklaim bahwa mendapat dukungan etnis Tionghoa itu sendiri.
Sama dengan yang dialami etnis lain, kata dia, komunitas Tiongoha juga mengalami apatisme terhadap politik Indonesia. Oleh sebab itu, para caleg harus bekerja keras untuk meyakinkan bahwa kehadiran mereka akan memperjuangkan kepentingan komunitas ini.
Aktivis Tionghoa Syafrudin Budiman mengatakan, sebagai sebuah komunitas yang berhasil di dunia bisnis, keterlibatan etnis Tionghoa di politik masih sangat rendah. Contoh yang paling nyata adalah masih banyak orang tua etnis Tiongoha enggan menyekolahkan anak-anaknya di jurusan ilmu sosial politik dan memilih bersekolah di jurusan bisnis. ‘’Bahkan ada semacam slogan bagi komunitas Tionghoa, bahwa business yes…politic no,’’ bebernya.
Menurut pengamat politik Arbi Sanit, etnis Tionghoa sudah terbiasa puluhan tahun disingkirkan dari politik sehingga merasa lebih aman dan nyaman kalau menekuni bidang bisnis. ‘’Sehingga mereka belum memanfaatkan kesempatan dan peluang dalam politik secara sungguh-sungguh,” ujar Arbi.
Dari sekitar delapan juta etnis Tionghoa yang kini berstatus WNI, kata Arbi, jumlah politisi Tionghoa masih sangat sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan kiprah mereka dalam bidang bisnis. “Satu persen pun nggak sampai,” ujarnya.
Arbi menilai, hingga kini peran etnis Tionghoa dalam politik masih jauh dari maksimal. Mereka terlihat canggung dan ragu-ragu dalam melakukan bergaining. Hal itu mengakibatkan kontribusi politisi etnis Tionghoa sangat minim. Padahal, pada zaman pra kemerdekaan hingga masa pemerintahan Soekarno, politisi etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat signifikan dan berkontribusi besar terhadap negara ini. *
Contoh Etnis Tionghoa di panggung politik:
- Alvin Lie Lee Peng anggota DPR dari PAN Jateng
- Marie Elka Pangestu Menteri Perdagangan
- Kwik Kian Gee mantan Menko Ekuin
- Rudianto Tjen anggota DPR dari PDIP Bangka
- Charles Honoris caleg PAN Dapil I Jatim
- L. Walanda caleg PAN Sulawesi Utara
- Tan Fu Yong caleg PAN DKI Jakarta
- Samuel Nitisaputra caleg PAN Kalimantan Timur
- Basuki Tjahaja Purnama Bupati Bangka
- Christiandy Sanjaya Wagub Kalbar. *
Sumber : http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=19a87049ef104ba10d1a7aa3d70ad59a&jenis=b706835de79a2b4e80506f582af3676a&PHPSESSID=905575572243a9ab6e35f7d4d98ba67e
Oleh: Alex M, Masita, Widi S
LIEM Koen Hian, nasionalis keturunan China, menatap nanar hadirin yang menghadiri ceramah umumnya di Surabaya, 23 Agustus 1932. la hendak sampai pada penghujung pidato, dan setelah jeda sejenak menahan napas, keluarlah suara lantangnya, ”Saja berkejakinan, dalam tempo jang tidak terlaloe lama, tentoe lahir boergerschap ataoe kerakjatan Indonesia, toeroet mana tidak sadja orang Indonesier asli yang dinamakan Indonesier, tetapi djoega peranakan Tionghoa...”
Sontak, pidatonya yang menggelegar itu disambut gemuruh tepuk tangan hadirin. Bagi Liem, peranakan Tionghoa yang lahir di Banjarmasin dan bekerja sebagai jurnalis itu, tak terelakkan bila orang Tionghoa bakal terlibat dalam perjuangan politik mewujudkan kemerdekaan Indonesia, suka atau tidak suka. Karena, pemisahan status sosial sebagai lapis kedua di atas kaum pribumi dan di bawah orang Belanda, toh hanya mengasingkan orang Tionghoa. Kenyataannya, menurut Liem, orang Tionghoa selalu mendapat perlakuan kasar dari pejabat pabean Belanda.
Sesudah Liem Koen Hian turun dari podium, dr Soetomo tampil meneruskan orasi ke publik. Tokoh pergerakan nasional itu mendukung gagasan Liem tentang Indonesierschap atau kewarganegaraan Indonesia. Dukungan berlanjut ketika sebulan kemudian, 25 September 1932, Liem Koen Hian, Kwee Thiam Thing, Ong Liang Kok, dan rekan-rekannya kaum Cina peranakan di Surabaya, mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Tercatat di Harian Sin Tit Po sehari sesudahnya, dr Soetomo dan kaum nasionalis Indonesia moderat menyokong lahirnya PTI dan bersedia untuk melakukan kerja sama.
Itulah nukilan sejarah keterlibatan etnis Tionghoa pra kemerdekaan yang dicatat Bimo Nugroho, direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, mengutip pakar studi etnis Tionghoa Prof Dr Leo Suryadinata.
Ya. Perjuangan Indonesia memang tak luput dari keterlibatan pemikiran politis etnis Tionghoa. Namun, setelah Indonesia merdeka, kemerdekaan berpolitik etnis Tionghoa tak tersalurkan dengan baik. Selama Orde Baru, hak politik etnis Tionghoa dipasung. Keterbukaan keran politik etnis Tionghoa baru terjadi pasca era reformasi 1997-1998.
Dalam diskusi ‘Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia’ di hotel V3 Surabaya tadi malam (12/3) terungkap bahwa euforia politik itu sekarang mulai marak lagi di kalangan warga Tionghoa.
Tampil dalam diskusi itu Tan Swie Ling, tokoh pergerakan Tionghoa, Liem Siok Lan alias Justiani seorang analis moneter internasional, Syafruddin Budiman aktivis muda Islam dan Dhimam Abror Djuraid, pemred Surabaya Post.
Tan mengingatkan agar dalam euforia sekarang warga Tionghoa berhati-hati dan jangan terlena, sehingga melupakan sejarah. Ia lebih setuju warga Tionghoa menempuh jalur politik non-formal dengan memberi penyadaran kepada masyarakat mengenai berbagai persoalan kebangsaan. ‘’Tapi, kalau mau berpolitik praktis silakan,’’ kata Tan.
Sedangkan Justiani memberi gambaran bahwa kondisi politik saat ini tetap harus diwaspadai oleh kaum Tionghoa. ‘’Kalau kita salah pilih bisa-bisa jadi korban lagi,’’ katanya.
Ia mengingatkan perlunya ada jalan baru untuk memilih pemimpin nasional yang mengutamakan rakyat. Ia menyebutnya sebagai jalan budaya. Antara lain dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat, sehingga muncul kekuatan baru yang menjadi pendorong perubahan total dan mendasar.
Sedang Syafruddin mengingatkan agar warga Tionghoa mengambil peran aktif dalam seluruh kiprah kehidupan masyarakat. ‘’Jangan sibuk di kegiatan ekonomi saja.’’
Dhimam Abror mengatakan, warga Tionghoa justru secara tidak sadar ikut melanggengkan stereotipe yang dikembangkan Orde Baru. ‘’Kalau masuk ke organisasi, warga Tionghoa memilih jadi bendahara, tidak ada yang berani menjadi ketua,’’ katanya.
* * *
Di pentas nasional nama Alvin Lie Lee Peng atau yang populer dengan nama Alvin Lee sudah tidak asing lagi dengan masyarakat Indonesia. Pria kelahiran Jateng ini sudah menjadi ikon atas partisipasi masuknya warga etnis Tionghoa di panggung politik pasca reformasi.
Alvin termasuk salah seorang politisi Tionghoa yang ikut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Tak heran, jika pada pemilu 1999, Alvin menjadi caleg dan terpilih menjadi anggota parlemen selama dua periode hingga era reformasi.
Kiprah Alvin di parlemen pun terhitung bagus. Politisi yang dijuluki cowboy Senayan ini tercatat sebagai salah seorang politisi muda yang vokal di parlemen.
Kiprah politisi Tionghoa bukan hanya di parlemen. Di pemerintahan, etnis Tionghoa pernah menjadi pejabat. Sebut saja Kwik Kian Gie yang pernah pejabat di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), etnis Tionghoa juga diberi tempat sebagai pejabat di pemerintah, seperti Mari Elka Pangestu yang kini menjadi Menteri Perdagangan.
Di pemerintahan tingkat lokal, beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menjadi bupati. Basuki Tjahaja Purnama juga terpilih sebagai Bupati Bangka. Setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Angin perubahan dalam sistem politik Indonesia benar-benar dimanfaatkan politisi Tionghoa. Pada Pemilu 2009, sekitar 100 calon anggota legislatif tingkat DPR RI berasal dari etnis Tionghoa. Belum lagi caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam daftar caleg DPR RI, misalnya, selain nama Alvin Lee (PAN Jateng), ada Rudianto Tjen (PDI Perjuangan, Bangka), Charles Honoris (PAN Dapil Jatim I), L. Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur).
Politisi Tionghoa yang menjabat Wakil Sekjen DPP PKB Daniel Johan berpendapat, Pemilu 2009 merupakan momen bangkitnya warga keturunan dalam berpolitik praktis. “Pada Pemilu 2009 ini, ada sekitar 100 caleg tingkat DPR RI yang merupakan etnis Tinghoa,” ujarnya.
Mengenai minimnya etnis Tionghoa yang berkiprah dalam bidang politik, kata Daniel, hal itu tidak terlepas dari trauma zaman Orde Baru. “Tidak mudah bagi kami untuk bisa langsung menekuni politik sebelum benar-benar memiliki kesiapan mental,” katanya.
Hal senada diungkapkan Kwik Kian Gie, menurut dia, sejak dibukanya keran reformasi 1998 lalu, hanya warga etnis Tinghoa yang benar-benar memiliki keberanianlah yang mampu tampil dalam dunia politik praktis. Namun, ia yakin seiring dengan membaiknya iklim demokrasi di Indonesia saat ini, kiprah etnis Tionghoa dalam bidang politik akan semakin tinggi. “Semuanya butuh proses. Saya kira, sekarang ini tinggal menunggu waktu saja,” ujarnya.
Meski banyak politisi Tionghoa yang tampil akhir-akhir ini, Alvin Lie menyebutnya sebagai satu titik awal. “Saya kira, kesadaran politik etnis Tionghoa baru mulai tumbuh. Saya melihat pada Pemilu 2009 makin banyak warga keturunan Tionghoa yang aktif di partai, baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional,” ujarnya.
Caleg DPR RI dari Bangka, Rudianto Tjen, mengatakan, banyaknya etnis Tionghoa yang berpolitik praktis sebagai pertanda alam demokrasi Indonesia sudah membaik. Artinya, tidak ada lagi perbedaan berdasarkan suku dan ras. Bangkitnya kesadaran politik kaum Tionghoa tak terlepas dari penyembuhan trauma masa lalu.
Diarahkan Bisnis
Salah satu caleg Tionghoa yang aktif kampanye adalah Charles Honoris. Ditemui di CH Center di kawasan Basuki Rahmat, caleg DPR RI asal PAN, itu mengatakan, selama Orde Baru lalu, komunitas ini diarahkan berbisnis saja. Hal ini menciptakan diskriminasi terhadap komunitas ini. Stigma ini begitu melekat kuat di masyarakat sehingga komunitas ini akhirnya menjadi apolitik dan apatis.
‘’Akibat kuatnya tekanan di masa pemerintahan yang lama memunculkan pandangan bagi kalau politik itu tabu dan kotor bagi komunitas kita. Semestinya kita tidak mengotak-kotakkan diri seperti itu,’’ tandasnya.
Melihat kondisi itu, dia lalu tertarik mempelajari politik meski selama ini dia menekuni dunia hukum. Dia membawa satu misi. ‘’Komunitas Tionghoa adalah salah satu elemen bangsa. Sudah saatnya tidak lagi dikotakkan berperan di ekonomi saja,’’ paparnya.
Ketua Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu, Hendi Prayogo, mengatakan, meski banyak caleg dari komunitas Tionghoa, tetap tidak bisa mengklaim bahwa mendapat dukungan etnis Tionghoa itu sendiri.
Sama dengan yang dialami etnis lain, kata dia, komunitas Tiongoha juga mengalami apatisme terhadap politik Indonesia. Oleh sebab itu, para caleg harus bekerja keras untuk meyakinkan bahwa kehadiran mereka akan memperjuangkan kepentingan komunitas ini.
Aktivis Tionghoa Syafrudin Budiman mengatakan, sebagai sebuah komunitas yang berhasil di dunia bisnis, keterlibatan etnis Tionghoa di politik masih sangat rendah. Contoh yang paling nyata adalah masih banyak orang tua etnis Tiongoha enggan menyekolahkan anak-anaknya di jurusan ilmu sosial politik dan memilih bersekolah di jurusan bisnis. ‘’Bahkan ada semacam slogan bagi komunitas Tionghoa, bahwa business yes…politic no,’’ bebernya.
Menurut pengamat politik Arbi Sanit, etnis Tionghoa sudah terbiasa puluhan tahun disingkirkan dari politik sehingga merasa lebih aman dan nyaman kalau menekuni bidang bisnis. ‘’Sehingga mereka belum memanfaatkan kesempatan dan peluang dalam politik secara sungguh-sungguh,” ujar Arbi.
Dari sekitar delapan juta etnis Tionghoa yang kini berstatus WNI, kata Arbi, jumlah politisi Tionghoa masih sangat sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan kiprah mereka dalam bidang bisnis. “Satu persen pun nggak sampai,” ujarnya.
Arbi menilai, hingga kini peran etnis Tionghoa dalam politik masih jauh dari maksimal. Mereka terlihat canggung dan ragu-ragu dalam melakukan bergaining. Hal itu mengakibatkan kontribusi politisi etnis Tionghoa sangat minim. Padahal, pada zaman pra kemerdekaan hingga masa pemerintahan Soekarno, politisi etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat signifikan dan berkontribusi besar terhadap negara ini. *
Contoh Etnis Tionghoa di panggung politik:
- Alvin Lie Lee Peng anggota DPR dari PAN Jateng
- Marie Elka Pangestu Menteri Perdagangan
- Kwik Kian Gee mantan Menko Ekuin
- Rudianto Tjen anggota DPR dari PDIP Bangka
- Charles Honoris caleg PAN Dapil I Jatim
- L. Walanda caleg PAN Sulawesi Utara
- Tan Fu Yong caleg PAN DKI Jakarta
- Samuel Nitisaputra caleg PAN Kalimantan Timur
- Basuki Tjahaja Purnama Bupati Bangka
- Christiandy Sanjaya Wagub Kalbar. *
Sumber : http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=19a87049ef104ba10d1a7aa3d70ad59a&jenis=b706835de79a2b4e80506f582af3676a&PHPSESSID=905575572243a9ab6e35f7d4d98ba67e
Syafrudin : Kepentingan komunitas Tionghoa jangan hanya dititipkan
Thursday, 12 March 2009
WASPADA ONLINE
SURABAYA - Sekretaris PW Partai Matahari Bangsa (PMB) Jawa Timur, Syafrudin Budiman mengemukakan, kepentingan masyarakat Tionghoa jangan hanya dititipkan ke partai-partai politik, tapi harus diperjuangkan sendiri.
"Kalau hanya dititipkan ke partai politik, takutnya 'paket' yang dititipkan itu tidak sampai ke tujuan. 'Paket' itu harus diantar sendiri," katanya pada diskusi "Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia" di Surabaya, Rabu malam.
Ia juga mengingatkan agar komunitas Tionghoa menghilangkan kesan elitisnya. Menurut dia, sudah saatnya komunitas Tionghoa masuk ke basis-basis masyarakat paling bawah sehingga mengetahui betul apa keinginan masyarakat tersebut.
"Saya istilahkan dengan membasis. Dengan membasis, maka akan ada sambungan antara kepentingan atas atau elit dengan kepentingan masyarakat bawah. Apalagi, komunitas Tionghoa itu kan ada juga yang secara ekonomi hidupnya kurang baik," kata mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu.
Sementara itu tokoh pergerakan Tionghoa, Tan Swie Ling mengemukakan, komunitas Tionghoa memang harus berpolitik. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah, politik yang bagaimana?
"Jangan sampai komunitas Tionghoa itu seperti laron yang menabrak nyala api. Nanti menjadi hangus. Komunitas Tionghoa harus tahu petanya. Poisisi dan kondisi politik komunitas Tionghoa itu sangat lemah sejak dulu," katanya.
Ia mengaku gembira karena sudah banyak generasi muda dari komunitas Tionghoa yang mulai terjun ke dunia politik. Namun ia mengingatkan agar keterlibatan mereka itu harus memiliki landasan yang jelas dan kuat.
Diskusi yang digelar Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu itu juga menghadirkan analis ekonomi moneter, Liem Siok Lan dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Dhimam Abror Djuraid.
(irw/ann)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=72589&Itemid=30
WASPADA ONLINE
SURABAYA - Sekretaris PW Partai Matahari Bangsa (PMB) Jawa Timur, Syafrudin Budiman mengemukakan, kepentingan masyarakat Tionghoa jangan hanya dititipkan ke partai-partai politik, tapi harus diperjuangkan sendiri.
"Kalau hanya dititipkan ke partai politik, takutnya 'paket' yang dititipkan itu tidak sampai ke tujuan. 'Paket' itu harus diantar sendiri," katanya pada diskusi "Masa Depan Politik Tionghoa Indonesia" di Surabaya, Rabu malam.
Ia juga mengingatkan agar komunitas Tionghoa menghilangkan kesan elitisnya. Menurut dia, sudah saatnya komunitas Tionghoa masuk ke basis-basis masyarakat paling bawah sehingga mengetahui betul apa keinginan masyarakat tersebut.
"Saya istilahkan dengan membasis. Dengan membasis, maka akan ada sambungan antara kepentingan atas atau elit dengan kepentingan masyarakat bawah. Apalagi, komunitas Tionghoa itu kan ada juga yang secara ekonomi hidupnya kurang baik," kata mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu.
Sementara itu tokoh pergerakan Tionghoa, Tan Swie Ling mengemukakan, komunitas Tionghoa memang harus berpolitik. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah, politik yang bagaimana?
"Jangan sampai komunitas Tionghoa itu seperti laron yang menabrak nyala api. Nanti menjadi hangus. Komunitas Tionghoa harus tahu petanya. Poisisi dan kondisi politik komunitas Tionghoa itu sangat lemah sejak dulu," katanya.
Ia mengaku gembira karena sudah banyak generasi muda dari komunitas Tionghoa yang mulai terjun ke dunia politik. Namun ia mengingatkan agar keterlibatan mereka itu harus memiliki landasan yang jelas dan kuat.
Diskusi yang digelar Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu itu juga menghadirkan analis ekonomi moneter, Liem Siok Lan dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Dhimam Abror Djuraid.
(irw/ann)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=72589&Itemid=30
Rabu, 04 Maret 2009
Abdul Hadi Hanya Broker
Politik
05/03/09
Jakarta – Pengacara tersangka kasus suap proyek pelabuhan dan bandara di Indonesia Timur Abdul Hadi Djamal, menyebut kliennya hanya broker dalam proyek itu. Namun, ia tidak bersedia menejelaskan secara rinci tugas kliennya.
"Hanya sebagai broker, sebagai pengantar," kata Heri Parani, kuasa hukum Abdul Hadi, setelah mendampingi kliennya dalam pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/3) dini hari.
Meski menyebut kliennya sebagai broker, Heri tidak bersedia menjelaskan duduk perkara dan rincian tugas kliennya dalam kasus itu. Heri juga mengelak menjawab ketika ditanya apakah uang yang ditemukan oleh tim KPK saat penangkapan bukan hanya untuk kliennya.
Menurut Heri, pemeriksaan terhadap Abdul Hadi masih dalam tahap awal. Kliennya, kata Heri hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan penyidik KPK tentang peran dan tugasnya.
“Dua hari lagi akan ada pemeriksaan lanjutan di gedung KPK. Kemungkinan ia disana saat proses pengembangan kasus masih berlanjut,” jelas Heri. [nuz]
inilah.com
05/03/09
Jakarta – Pengacara tersangka kasus suap proyek pelabuhan dan bandara di Indonesia Timur Abdul Hadi Djamal, menyebut kliennya hanya broker dalam proyek itu. Namun, ia tidak bersedia menejelaskan secara rinci tugas kliennya.
"Hanya sebagai broker, sebagai pengantar," kata Heri Parani, kuasa hukum Abdul Hadi, setelah mendampingi kliennya dalam pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/3) dini hari.
Meski menyebut kliennya sebagai broker, Heri tidak bersedia menjelaskan duduk perkara dan rincian tugas kliennya dalam kasus itu. Heri juga mengelak menjawab ketika ditanya apakah uang yang ditemukan oleh tim KPK saat penangkapan bukan hanya untuk kliennya.
Menurut Heri, pemeriksaan terhadap Abdul Hadi masih dalam tahap awal. Kliennya, kata Heri hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan penyidik KPK tentang peran dan tugasnya.
“Dua hari lagi akan ada pemeriksaan lanjutan di gedung KPK. Kemungkinan ia disana saat proses pengembangan kasus masih berlanjut,” jelas Heri. [nuz]
inilah.com
SUAP DI DPR KULTUR KOLEKTIF
Politik
04/04/2009
Jakarta - Semakin banyaknya anggota DPR yang ditangkap KPK menunjukkan praktik suap merupakan hal biasa yang terjadi di Parlemen.
"Bahkan ada kesan, ini sudah menjadi 'kultur kolektif' para wakil rakyat kita," kata Koordinator Nasional (Kornas) Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw, Rabu (4/3), menanggapi penangkapan anggota FPAN Abdul Hadi Djamal dalam dugaan kasus suap proyek pembangunan Bandara di kawasan Timur Indonesia.
"Tentu hal ini akan semakin membuat citra DPR RI terpuruk di masyarakat. Saya yakin, ada banyak lagi yang melakukan praktek serupa, namun belum sempat terungkap ke publik," ujar mantan Kornas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini.
Jeirry meyakinkan, terungkapnya kasus-kasus korupsi dan suap di lingkup DPR RI, mesti menjadi catatan bagi parlemen yang sekarang sedang membuat Undang Undang (UU) Susduk untuk memberi sanksi serta tindakan tegas.
"Bisa diatur secara tegas, bahwa anggota DPR RI yang sedang terlibat pembahasan sesuatu hal dengan lembaga atau badan tertentu, tidak diperbolehkan untuk menjalin hubungan dalam bentuk apapun dengan pihak terkait yang sedang menjadi mitra kerjanya," katanya.
Sementara itu, dalam konteks pemilu, menurutnya, kiranya ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, agar betul-betul selektif dalam menentukan pilihannya.
"Tidak semua calon anggota legislatif (Caleg) yang kelihatan baik, akan serius memperjuangkan kepentingan rakyat setelah telah menjadi anggota DPR RI. Jangan sampai setiap kali Pemilu, masyarakat memilih kucing dalam karung," tandas Jeirry. [*/dil}
04/04/2009
Jakarta - Semakin banyaknya anggota DPR yang ditangkap KPK menunjukkan praktik suap merupakan hal biasa yang terjadi di Parlemen.
"Bahkan ada kesan, ini sudah menjadi 'kultur kolektif' para wakil rakyat kita," kata Koordinator Nasional (Kornas) Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw, Rabu (4/3), menanggapi penangkapan anggota FPAN Abdul Hadi Djamal dalam dugaan kasus suap proyek pembangunan Bandara di kawasan Timur Indonesia.
"Tentu hal ini akan semakin membuat citra DPR RI terpuruk di masyarakat. Saya yakin, ada banyak lagi yang melakukan praktek serupa, namun belum sempat terungkap ke publik," ujar mantan Kornas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini.
Jeirry meyakinkan, terungkapnya kasus-kasus korupsi dan suap di lingkup DPR RI, mesti menjadi catatan bagi parlemen yang sekarang sedang membuat Undang Undang (UU) Susduk untuk memberi sanksi serta tindakan tegas.
"Bisa diatur secara tegas, bahwa anggota DPR RI yang sedang terlibat pembahasan sesuatu hal dengan lembaga atau badan tertentu, tidak diperbolehkan untuk menjalin hubungan dalam bentuk apapun dengan pihak terkait yang sedang menjadi mitra kerjanya," katanya.
Sementara itu, dalam konteks pemilu, menurutnya, kiranya ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, agar betul-betul selektif dalam menentukan pilihannya.
"Tidak semua calon anggota legislatif (Caleg) yang kelihatan baik, akan serius memperjuangkan kepentingan rakyat setelah telah menjadi anggota DPR RI. Jangan sampai setiap kali Pemilu, masyarakat memilih kucing dalam karung," tandas Jeirry. [*/dil}
Selasa, 03 Maret 2009
Kronologi Penangkapan Abdul Hadi
Politik
03/03/2009
Jakarta - KPK rupanya telah mengincar anggota Komisi V DPR Abdul Hadi Djamal sejak sebulan lalu. Penangkapan yang dilakukan Senin (2/3) malam, itu merupakan upaya yang kedua kali.
Sumber KPK yang dihubungi wartawan, Selasa (3/3) menuturkan, tim dari KPK telah membuntuti Hadi berawal dari Hotel Sultan. Anggota FPAN itu kemudian bergerak ke kafe Jimbaran dan kemudian ke rumah makan Sari Kuring di kawasan Jl Veteran, Jakarta Pusat. "Di Sari kuring transaksi dilakukan," ucap sumber tersebut.
Penyerahan uang dilakukan oleh Darmayanti, seorang PNS di Ditjen Hubla Dephub. Sebenarnya, lanjut sang sumber, tanggal 27 Februari lalu, Hadi telah dibuntuti hingga pukul 03.00 WIB dinihari. Namun saat itu transaksi tidak terjadi.
Usai transaksi di Sari Kuring, KPK membuntuti 3 mobil masing-masing Honda Jazz, Toyota Altis, dan satu mobil lagi bermerek Nissan. Tiga mobil itu kemudian berpencar, namun KPK memilih membuntuti mobil yang ditumpangi Darmayanti.
"Waktu penangkapan, ada tukan ojek di sekitar lokasi yang disuruh menghitung uang," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Abdul Hadi Djamal dibekuk KPK pada Senin (2/3) malam. Dari mobil Hadi, uang sebesar US$ 80 ribu dan Rp 54 Juta. Uang itu diketahui berasal dari Hontjo Kurniawan, komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, terkait proyek pembangunan dermaga dan bandara di kawasan Indonesia Timur. [dil]
inilah.com
03/03/2009
Jakarta - KPK rupanya telah mengincar anggota Komisi V DPR Abdul Hadi Djamal sejak sebulan lalu. Penangkapan yang dilakukan Senin (2/3) malam, itu merupakan upaya yang kedua kali.
Sumber KPK yang dihubungi wartawan, Selasa (3/3) menuturkan, tim dari KPK telah membuntuti Hadi berawal dari Hotel Sultan. Anggota FPAN itu kemudian bergerak ke kafe Jimbaran dan kemudian ke rumah makan Sari Kuring di kawasan Jl Veteran, Jakarta Pusat. "Di Sari kuring transaksi dilakukan," ucap sumber tersebut.
Penyerahan uang dilakukan oleh Darmayanti, seorang PNS di Ditjen Hubla Dephub. Sebenarnya, lanjut sang sumber, tanggal 27 Februari lalu, Hadi telah dibuntuti hingga pukul 03.00 WIB dinihari. Namun saat itu transaksi tidak terjadi.
Usai transaksi di Sari Kuring, KPK membuntuti 3 mobil masing-masing Honda Jazz, Toyota Altis, dan satu mobil lagi bermerek Nissan. Tiga mobil itu kemudian berpencar, namun KPK memilih membuntuti mobil yang ditumpangi Darmayanti.
"Waktu penangkapan, ada tukan ojek di sekitar lokasi yang disuruh menghitung uang," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Abdul Hadi Djamal dibekuk KPK pada Senin (2/3) malam. Dari mobil Hadi, uang sebesar US$ 80 ribu dan Rp 54 Juta. Uang itu diketahui berasal dari Hontjo Kurniawan, komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, terkait proyek pembangunan dermaga dan bandara di kawasan Indonesia Timur. [dil]
inilah.com
Anggota FPAN Abdul Hadi Ditangkap KPK
Politik
03/03/2009
Jakarta - Satu lagi anggota DPR tertangkap tangan KPK dalam kasus dugaan suap. Anggota Komisi V asal FPAN Abdul Hadi Djamal dibekuk saat menerima uang sebesar US$ 80 ribu dan Rp 54 Juta.
"Iya ada tangkap tangan, tadi malam sekitar pukul 22.15 WIB," kata Wakil Ketua KPK M Jasin yang dikonfirmasi wartawan via telepon, Selasa (3/3).
Sementara sumber di KPK mengungkapkan, penangkapan Hadi dilakukan di kawasan Karet, Jl Jenderal Sudirman. Saat ditangkap, di dalam mobil Hadi ditemukan uang dalam pecahan dolar dan rupiah.
"Dari pemeriksaan sementara, Abdul Hadi mengakui uang tersebut berasal dari Hontjo Kurniawan, komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Surabaya," ujar sumber tersebut.
Caleg PAN Dapil I Sulsel itu juga mengakui telah menerima Rp 1 miliar pada tanggal 27 Februari, yang kemudian diserahkan kepada koleganya di DPR.
Selain Hadi, KPK menangkap Darmawati, seorang PNS di bagian tata usaha Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dephub. Darmawati berperan sebagai perantara yang menyerahkan uang tersebut.
Sumber tersebut menambahkan, KPK juga telah menangkap Hontjo Kurniawan yang mengaku telah memberikan uang senilai Rp 2 miliar dalam bentuk US dolar kepada Abdul Hadi melalui Darmawati dalam dua tahap.
"Pemberian uang itu dengan maksud untuk menyalurkan, aspirasi mendapatkan proyek dermaga dan bandara di wilayah Indonesia timur. Hontjo juga mengakui telah memberikan Rp 600 juta untuk Darmawati," tandasnya. [dil]
inilah.com
03/03/2009
Jakarta - Satu lagi anggota DPR tertangkap tangan KPK dalam kasus dugaan suap. Anggota Komisi V asal FPAN Abdul Hadi Djamal dibekuk saat menerima uang sebesar US$ 80 ribu dan Rp 54 Juta.
"Iya ada tangkap tangan, tadi malam sekitar pukul 22.15 WIB," kata Wakil Ketua KPK M Jasin yang dikonfirmasi wartawan via telepon, Selasa (3/3).
Sementara sumber di KPK mengungkapkan, penangkapan Hadi dilakukan di kawasan Karet, Jl Jenderal Sudirman. Saat ditangkap, di dalam mobil Hadi ditemukan uang dalam pecahan dolar dan rupiah.
"Dari pemeriksaan sementara, Abdul Hadi mengakui uang tersebut berasal dari Hontjo Kurniawan, komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Surabaya," ujar sumber tersebut.
Caleg PAN Dapil I Sulsel itu juga mengakui telah menerima Rp 1 miliar pada tanggal 27 Februari, yang kemudian diserahkan kepada koleganya di DPR.
Selain Hadi, KPK menangkap Darmawati, seorang PNS di bagian tata usaha Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dephub. Darmawati berperan sebagai perantara yang menyerahkan uang tersebut.
Sumber tersebut menambahkan, KPK juga telah menangkap Hontjo Kurniawan yang mengaku telah memberikan uang senilai Rp 2 miliar dalam bentuk US dolar kepada Abdul Hadi melalui Darmawati dalam dua tahap.
"Pemberian uang itu dengan maksud untuk menyalurkan, aspirasi mendapatkan proyek dermaga dan bandara di wilayah Indonesia timur. Hontjo juga mengakui telah memberikan Rp 600 juta untuk Darmawati," tandasnya. [dil]
inilah.com
PMB Dukung Provinsi Madura
Politik
01/03/2009
Surabaya - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Partai Matahari Bangsa (PMB) Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, dr Syaiful Hidayat, menyatakan dukungan terhadap Madura untuk menjadi provinsi.
"Dengan menjadi provinsi, maka Madura bisa lebih banyak menerima pendapatan untuk membangun daerahnya dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat," jela Syaiful usai rapat konsolidasi PMB Jawa Timur di Surabaya, Minggu (1/3).
Menurut calon legislator DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) XI (Madura) itu, sumber daya alam Jawa Timur selama ini disedot ke pusat hingga 80 persen dan hanya 20 persen yang kembali ke Jatim. "Madura sendiri hanya menunggu pembagian dari Jatim yang hanya 20 persen itu, sehingga Madura juga tak sepenuhnya menerima yang 20 persen itu," imbuhnya.
Oleh karena itu, bila Madura belum menjadi provinsi, maka wilayah Madura akan sulit berkembang. "Dengan menjadi provinsi, alokasi anggaran dari APBN kepada Madura akan lebih besar (berbentuk DIPA), dibanding menjadi bayang-bayang Provinsi Jawa Timur," ujarnya.
Misalnya, kekayaan laut. "Jika kabupaten hanya memiliki penguasaan laut 4 mil dari garis pantai, maka bila menjadi provinsi, maka penguasaan laut bisa mencapai 12 mil. Jika banyak tambangnya, bisa lebih banyak menerima pendapatan untuk membangun," jelas Syaiful.
Keuntungan lain, bila Madura menjadi provinsi, masyarakat Madura dapat berbuat banyak di daerahnya. "Bisa menjadi gubernur, kepala dinas, dan peluang lainnya akan jelas amat terbuka luas. Yang pasti, masyarakat Madura tak hanya tergantung dari Provinsi Jatim. Madura bisa memiliki DIPA sendiri, dan mengatur DAU kepada seluruh kabupaten yang ada di Madura,"paparnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) PMB Jawa Timur Syafrudin Budiman mendukung langkah PP PMB yang mendukung berdirinya provinsi Madura, sehingga Madura akan mendapatkan kucuran dana triliunan rupiah dari pemerintah pusat (APBN) untuk pos dana alokasi umum (DAU) dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
"Jika ditotal, jumlahnya mencapai Rp 29,3 triliun. Dana Rp 29,3 triliun itu dibagi menjadi Rp 13,1 triliun untuk DIPA dan Rp 16,6 triliun untuk DAU. DIPA terdiri atas alokasi dana sektoral, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan. DAU untuk pemprov dan Pemkab/pemkot se-Jatim digerojok Rp 16,6 triliun," katanya.
Meski demikian, ia menilai dari segi pendapatan, di antara empat kabupaten di Madura, Bangkalan merupakan wilayah yang mempunyai PAD yang relatif kecil, yaitu sekitar Rp 4 miliar. "Yang lebih parah adalah PAD Sampang yang hanya sekitar Rp 2,5 miliar," katanya.
Hal yang sama juga berlaku untuk DAU. "DAU Bangkalan dibandingkan tiga kabupaten lainnya justru yang terkecil, sekitar Rp 178,4 miliar. Itu sangat timpang dengan total PAD keempat kabupaten tersebut yang hanya sekitar Rp 20 miliar," katanya.
Hal itu, katanya, tentu tidak akan terjadi bila 80 persen hasil eksploitasi minyak dan gas (migas) di Sumenep Madura tersebut kembali ke daerah, sehingga Madura akan menjadi provinsi kaya. "Jika gas bumi 94,7 miliar kaki kubik (BCF) yang dihasilkan Blok Kangean, 10 persen saja masuk ke Madura, bukan tak mustahil Madura akan mengalahkan Surabaya," imbuhnya.
Tentang risiko kalau terjadi pemekaran, ia menyatakan semua pasti ada untung-ruginya, ada risiko dan manfaatnya. "Risikonya untuk menjadi provinsi jelas akan menambah beban anggaran bagi daerah itu, karena harus menyiapkan perkantoran gubernur dan personelnya yang dulu disiapkan, tapi sekarang tidak," tandsa Syafrudin. [*/dil]
01/03/2009
Surabaya - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Partai Matahari Bangsa (PMB) Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, dr Syaiful Hidayat, menyatakan dukungan terhadap Madura untuk menjadi provinsi.
"Dengan menjadi provinsi, maka Madura bisa lebih banyak menerima pendapatan untuk membangun daerahnya dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat," jela Syaiful usai rapat konsolidasi PMB Jawa Timur di Surabaya, Minggu (1/3).
Menurut calon legislator DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) XI (Madura) itu, sumber daya alam Jawa Timur selama ini disedot ke pusat hingga 80 persen dan hanya 20 persen yang kembali ke Jatim. "Madura sendiri hanya menunggu pembagian dari Jatim yang hanya 20 persen itu, sehingga Madura juga tak sepenuhnya menerima yang 20 persen itu," imbuhnya.
Oleh karena itu, bila Madura belum menjadi provinsi, maka wilayah Madura akan sulit berkembang. "Dengan menjadi provinsi, alokasi anggaran dari APBN kepada Madura akan lebih besar (berbentuk DIPA), dibanding menjadi bayang-bayang Provinsi Jawa Timur," ujarnya.
Misalnya, kekayaan laut. "Jika kabupaten hanya memiliki penguasaan laut 4 mil dari garis pantai, maka bila menjadi provinsi, maka penguasaan laut bisa mencapai 12 mil. Jika banyak tambangnya, bisa lebih banyak menerima pendapatan untuk membangun," jelas Syaiful.
Keuntungan lain, bila Madura menjadi provinsi, masyarakat Madura dapat berbuat banyak di daerahnya. "Bisa menjadi gubernur, kepala dinas, dan peluang lainnya akan jelas amat terbuka luas. Yang pasti, masyarakat Madura tak hanya tergantung dari Provinsi Jatim. Madura bisa memiliki DIPA sendiri, dan mengatur DAU kepada seluruh kabupaten yang ada di Madura,"paparnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) PMB Jawa Timur Syafrudin Budiman mendukung langkah PP PMB yang mendukung berdirinya provinsi Madura, sehingga Madura akan mendapatkan kucuran dana triliunan rupiah dari pemerintah pusat (APBN) untuk pos dana alokasi umum (DAU) dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
"Jika ditotal, jumlahnya mencapai Rp 29,3 triliun. Dana Rp 29,3 triliun itu dibagi menjadi Rp 13,1 triliun untuk DIPA dan Rp 16,6 triliun untuk DAU. DIPA terdiri atas alokasi dana sektoral, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan. DAU untuk pemprov dan Pemkab/pemkot se-Jatim digerojok Rp 16,6 triliun," katanya.
Meski demikian, ia menilai dari segi pendapatan, di antara empat kabupaten di Madura, Bangkalan merupakan wilayah yang mempunyai PAD yang relatif kecil, yaitu sekitar Rp 4 miliar. "Yang lebih parah adalah PAD Sampang yang hanya sekitar Rp 2,5 miliar," katanya.
Hal yang sama juga berlaku untuk DAU. "DAU Bangkalan dibandingkan tiga kabupaten lainnya justru yang terkecil, sekitar Rp 178,4 miliar. Itu sangat timpang dengan total PAD keempat kabupaten tersebut yang hanya sekitar Rp 20 miliar," katanya.
Hal itu, katanya, tentu tidak akan terjadi bila 80 persen hasil eksploitasi minyak dan gas (migas) di Sumenep Madura tersebut kembali ke daerah, sehingga Madura akan menjadi provinsi kaya. "Jika gas bumi 94,7 miliar kaki kubik (BCF) yang dihasilkan Blok Kangean, 10 persen saja masuk ke Madura, bukan tak mustahil Madura akan mengalahkan Surabaya," imbuhnya.
Tentang risiko kalau terjadi pemekaran, ia menyatakan semua pasti ada untung-ruginya, ada risiko dan manfaatnya. "Risikonya untuk menjadi provinsi jelas akan menambah beban anggaran bagi daerah itu, karena harus menyiapkan perkantoran gubernur dan personelnya yang dulu disiapkan, tapi sekarang tidak," tandsa Syafrudin. [*/dil]
Langganan:
Postingan (Atom)