27 Januari 2009
Jakarta:
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Petikan lagu itu begitu lekat di telinga pekan-pekan terakhir ini. Lagu yang melukiskan kepedihan rakyat Palestina itu kerap dipakai sebagai latar liputan perang Gaza. Tak hanya oleh stasiun televisi dan radio Indonesia, tapi di banyak negara.
Diluncurkan awal Januari lalu, We Will Not Go Down (Song for Gaza) langsung diunggah ke situs YouTube. Dalam dua pekan saja, lagu ini sudah diklik oleh 700 ribuan pengunjung. Jumlah itu kian bertambah hingga hari ini. Selain sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, lagu ini disediakan untuk free download di Internet. Namun sebagian besar orang yang mengunduhnya dengan sukarela malah menyumbang ke United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East.
Ini sesuai dengan permintaan Michael Heart, pencipta sekaligus penyanyi lagu terkenal itu. Lahir di Suriah, Heart tumbuh besar di beberapa negara—Swiss, Austria, dan Amerika Serikat. Selera musiknya mencerminkan kehidupan multikultur yang dilaluinya. Termasuk lagu solidaritasnya untuk Gaza ini.
Ia mulai bermain gitar dan piano pada usia 10 tahun. Menginjak usia belasan, ia mulai menggubah lagu dan menyanyikannya sendiri. Lulus dari jurusan teknik audio (audio engineering) di Full Sail University, California, ia pindah ke Los Angeles pada 1990. Di rumahnya, ia membuka studio rekaman lokal serta menajamkan keahliannya sebagai gitaris dan teknisi rekaman.
Selama lebih dari 18 tahun ini, Heart telah bekerja sama dengan sejumlah artis terkemuka, antara lain Al Jarreau, Natalie Cole, The Temptations, Phil Collins, Toto, dan Will Smith. Kefasihan Heart berbahasa Prancis juga memuluskan kerja samanya dengan sejumlah artis negara itu: Calogero (The Charts), Marc Lavoine, dan Veronique Sanson. Ia juga pernah digandeng sejumlah produser, antara lain David Foster. Meskipun kebanyakan pekerjaannya berkutat di studio, Heart juga berkeliling sebagai gitaris flamenco dan bergabung dengan band smooth jazz bernama Jango.
Sejatinya, Michael Heart adalah nama panggung belaka. Sebagian besar karya Heart justru dilabeli nama aslinya: Annas Allaf. Inilah nama pemberian orang tuanya, yang asli Suriah. Sebelumnya lebih banyak berjibaku di balik layar, Annas menuai perhatian dunia saat meluncurkan We Will Not Go Down Januari lalu. Lagu ini melukiskan kengerian situasi yang dialami warga Palestina di Gaza. Salah satu liriknya berbunyi, ”Women and children alike. Murdered and massacred night after night.”
Ya, Tuan Allaf memang menunjukkan keberpihakannya dalam lagu itu. Tak aneh jika ia tak hanya menuai puja-puji, tapi juga caci-maki. Seorang warga Israel berang dan menuduh lagu Heart ”tak akurat dan tak lengkap”. Menurut dia, dalam sebuah mimbar debat di Internet, lagu itu sangat jelas menempatkan Hamas sebagai pahlawan sekaligus korban. Padahal cukup banyak korban sipil Israel akibat serangan Hamas sebelumnya. ”Michael hanya mengagung-agungkan kelompok teroris,” katanya.
Toh, kecaman itu tak menyurutkan popularitas Heart. Cakram digital terbarunya yang beraliran pop/rock berjudul Unsolicited Material kini banyak diputar di radio-radio Amerika. Heart juga menyuguhkan tema-tema serius. Misalnya perzinaan (Living in Sin), perang (Damaged World), dan kekerasan rumah tangga (Finally Free).
Song for Gaza bukanlah lagu pertama yang terkenal karena momen perang. Sebelumnya, ada When the Children Cry yang dirilis White Lion pada 1987. Di awal 2003, saat Perang Irak, lagu ini dinyanyikan ulang dan mencapai puncak popularitas karena relevan dengan situasi perang. Generasi musisi yang lebih tua juga banyak mendendangkan lagu anti-Perang Vietnam.
Andari Karina Anom -
http://tempointeraktif.com/hg/profil/2009/01/27/brk,20090127-157062,id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar